Saat angin menapak senyap, dia masih di sana, terjerembab dalam harap…
Ada kalanya dia menutup jendela itu, membiarkan diri beku dalam dingin tak terperi, dan menyibak malam muram. Dia seakan ingin karam. Wajah-wajah telah datang dan pergi, jiwa-jiwa telah singgah, menyapa ramah, namun semua tak tergapai olehnya. Dia lelah, dan selalu kembali kepada jendela kecilnya, membukanya, mendengar suaranya yang berderit berat, sarat dengan karat jiwa. Dia masih di sana, masih diam memandangi bunga itu, mencoba meraih keindahan yang tak tersentuh dan masih mencoba merengkuh apa yang hancur luruh, luluh lantak bersama malam kelam.
Saat awan putih berarak berdesak, diapun masih di sana, walau benak sesak oleh onak…
Waktu tetaplah waktu yang setia berpacu, hari yang tak pernah berhenti berlari, dan detik yang selalu menitik di tepian jiwa yang termangu menunggu. Dia hanya diam memandang dan berdendang sepi dalam iringan derap waktu yang berpacu. Dia lelah namun tak mau kalah. Dibukanya jendela kecil itu lebar-lebar, tak ada lagi yang bisa ditawar, dikepakkannya sayapnya, terbang menjulang, datang pada pagi yang dirasanya telah datang…
Pagi tak selalu berseri, kadang ia menjadi siang yang panas memanggang dan menyerang dengan garang… Diapun mengerang…
Tak ada lagi bunga itu. Siang telah membawanya pulang.
Saat angin menapak senyap seiring awan putih berarak berdesak, hari yang berdebu telah membawanya ke sana…
Belum lama dia berbaring di situ. Dia menunggu dan menghitung satu demi satu tanpa merasa jemu. Dia tersenyum berseri pada pagi yang dirasanya telah datang…
(Kajang, Malaysia, Agustus 2008, untuk dia yang menunggu pagi)