J o h N o t e

j o h N o t e:

It’s New!


Ternyata menulis tidaklah mudah. Salah satu tantangan terberatnya adalah konsistensi, yang notabene juga menjadi penantang kelas berat bagi seabrek aktivitas lain. Ada banyak ide yang sebenarnya mengalir dalam apa yang saya sebut sebagai ‘sungai kognitif’, ide-ide yang siap tersaji dalam aksara kaya makna, yang diharapkan bisa memberi pencerahan dan bisa melahirkan apa yang saya sebut sebagai ‘momen aha!’ bagi kita semua. Namun kemudian jalan keluar aliran tersebut tersumbat, tersekat, dan terhambat. Sumbat tersebut –seperti yang sudah saya perkenalkan di awal- ialah konsistensi. Sekat yang lain adalah kreativitas menulis, yang dalam waktu lebih dari enam bulan terakhir ini menjadi barang langka buat saya.


Menulis, di sisi lain, bagi saya adalah passion, yang walaupun dalam kurun waktu yang berlalu dia sudah mati suri karena kehabisan asupan gizi konsistensi dan kreativitas, namun ternyata tetap ada dalam diri dan kembali memanggil saya untuk melanjutkan usaha berbagi inspirasi dan melukis warna warni di jiwa kita.


Dalam tahapan hidup saya sekarang, menulis juga berarti proses bertumbuh. Itulah penjelasan atas berubahnya style tulisan saya. Ada beberapa tulisan dari J o h N o t e yang dengan pertimbangan tertentu tetap saya sertakan di sini. Ini tulisan yang sama mengenai kehidupan, yang tetap dihadirkan dengan penuh rasa cinta pada kita semua, pada kehidupan dan Hidup itu sendiri. Inilah j o h N o t e.

Tuesday, August 5, 2008

Menunggu Pagi Datang

Sudah lama dia berdiri di situ, di tepian jendela jiwa. Dia menunggu dan menghitung satu demi satu tanpa menjadi jemu. Pada malam hari dia mencari api yang menghangatkan diri dari dingin yang tak terperi, dia berbagi muram dengan sinar bulan temaram dan angin yang mendesis geram. Sudah lama dia memperhatikan bunga itu dari balik jendela jiwanya. Dia hanya diam, namun itu tak berarti dia tak bergumam, mengucap selaksa harap di tengah malam muram, berharap akan merengkuh kembali apa yang hancur luruh, luluh lantak bersama malam kelam.

Saat angin menapak senyap, dia masih di sana, terjerembab dalam harap…

Ada kalanya dia menutup jendela itu, membiarkan diri beku dalam dingin tak terperi, dan menyibak malam muram. Dia seakan ingin karam. Wajah-wajah telah datang dan pergi, jiwa-jiwa telah singgah, menyapa ramah, namun semua tak tergapai olehnya. Dia lelah, dan selalu kembali kepada jendela kecilnya, membukanya, mendengar suaranya yang berderit berat, sarat dengan karat jiwa. Dia masih di sana, masih diam memandangi bunga itu, mencoba meraih keindahan yang tak tersentuh dan masih mencoba merengkuh apa yang hancur luruh, luluh lantak bersama malam kelam.

Saat awan putih berarak berdesak, diapun masih di sana, walau benak sesak oleh onak…

Waktu tetaplah waktu yang setia berpacu, hari yang tak pernah berhenti berlari, dan detik yang selalu menitik di tepian jiwa yang termangu menunggu. Dia hanya diam memandang dan berdendang sepi dalam iringan derap waktu yang berpacu. Dia lelah namun tak mau kalah. Dibukanya jendela kecil itu lebar-lebar, tak ada lagi yang bisa ditawar, dikepakkannya sayapnya, terbang menjulang, datang pada pagi yang dirasanya telah datang…

Pagi tak selalu berseri, kadang ia menjadi siang yang panas memanggang dan menyerang dengan garang… Diapun mengerang…

Tak ada lagi bunga itu. Siang telah membawanya pulang.

Saat angin menapak senyap seiring awan putih berarak berdesak, hari yang berdebu telah membawanya ke sana…

Belum lama dia berbaring di situ. Dia menunggu dan menghitung satu demi satu tanpa merasa jemu. Dia tersenyum berseri pada pagi yang dirasanya telah datang…




(Kajang, Malaysia, Agustus 2008, untuk dia yang menunggu pagi)