J o h N o t e

j o h N o t e:

It’s New!


Ternyata menulis tidaklah mudah. Salah satu tantangan terberatnya adalah konsistensi, yang notabene juga menjadi penantang kelas berat bagi seabrek aktivitas lain. Ada banyak ide yang sebenarnya mengalir dalam apa yang saya sebut sebagai ‘sungai kognitif’, ide-ide yang siap tersaji dalam aksara kaya makna, yang diharapkan bisa memberi pencerahan dan bisa melahirkan apa yang saya sebut sebagai ‘momen aha!’ bagi kita semua. Namun kemudian jalan keluar aliran tersebut tersumbat, tersekat, dan terhambat. Sumbat tersebut –seperti yang sudah saya perkenalkan di awal- ialah konsistensi. Sekat yang lain adalah kreativitas menulis, yang dalam waktu lebih dari enam bulan terakhir ini menjadi barang langka buat saya.


Menulis, di sisi lain, bagi saya adalah passion, yang walaupun dalam kurun waktu yang berlalu dia sudah mati suri karena kehabisan asupan gizi konsistensi dan kreativitas, namun ternyata tetap ada dalam diri dan kembali memanggil saya untuk melanjutkan usaha berbagi inspirasi dan melukis warna warni di jiwa kita.


Dalam tahapan hidup saya sekarang, menulis juga berarti proses bertumbuh. Itulah penjelasan atas berubahnya style tulisan saya. Ada beberapa tulisan dari J o h N o t e yang dengan pertimbangan tertentu tetap saya sertakan di sini. Ini tulisan yang sama mengenai kehidupan, yang tetap dihadirkan dengan penuh rasa cinta pada kita semua, pada kehidupan dan Hidup itu sendiri. Inilah j o h N o t e.

Monday, February 20, 2012

Apa Adanya dengan ‘Ada Apanya’ , Ada Apanya dengan ‘Apa Adanya’ ?

Ketika kita berbicara tentang cinta, ada berbagai macam ungkapan dan ekspresi yang berusaha menggambarkan cinta, salah satunya adalah ungkapan yang seringkali kita dengar, yang menghimbau kita untuk mencintai 'apa adanya' , bukan mencintai karena 'ada apanya' . Ungkapan itu sering saya dengar, bahkan, penggalan ungkapan tersebut, yaitu mencintai apa adanya juga sesekali saya ucapkan. Hari itu, pagi-pagi sekali, di hari yang dirayakan banyak orang sebagai ‘Hari Kasih Sayang’ , atau ‘Hari Valentine’ , seorang teman memberikan pesan yang dititipkan pada RIM melalui teknologi BBM-nya untuk diteruskan pada teman-temannya yang lain, termasuk saya :) Pesan yang sudah biasa saya dengar dan baca tersebut, pesan untuk mencintai 'apa adanya' dan bukan karena 'ada apanya' , pagi itu saya baca dengan cara pandang yang berbeda. Entah kenapa.


Ketika ungkapan “Cintailah bla bla bla mu (bla bla bla bisa diganti apa saja, merujuk pada orang tertentu) 'apa adanya' , bukan karena 'ada apanya' ” diungkapkan, ada satu kondisi kontras yang tak terbantahkan di sana, kontras antara ‘apa adanya’ dengan ‘ada apanya’ . Di satu sisi, ‘apa adanya’ mempunyai label positif, dia digambarkan sebagai salah satu ‘tindakan heroik’ cinta, yaitu walaupun bla bla bla yang kita cintai penuh dengan kekurangan ini itu, kita tetap mau menerima dan memberikan kasih sayang kita padanya. Di sisi lain, kontras dengan ‘apa adanya’ , tentu saja ‘ada apanya’ mempunyai label negatif, dia digambarkan sebagai ‘tindakan parasit’ bersalutkan cinta, yaitu mencintai karena ingin memenuhi kepentingan dan keuntungan pribadi. Pagi itu, entah kenapa, bagi saya ada yang salah dari label tersebut, dalam cara pandang saya, label tersebut berlebihan, bahkan tidak adil. Pagi itu, ‘apa adanya’ dan ‘ada apanya’ menjadi hal yang penting bagi saya.


Tindakan mencintai karena ‘ada apanya’ terlanjur lekat dengan label negatif, namun sesungguhnya, jika kita mencermatinya, tindakan tersebut adalah satu kewajaran. Sewajar ketika kita makan bila kita merasa lapar. Ketika kita mencintai karena ‘ada apanya’ , kita melihat sesuatu yang baik dari orang yang kita cintai, dimana hal itu menguntungkan kita, membuat diri kita lebih baik, bahkan mungkin membuat hidup kita menjadi lebih sejahtera. “Siapa sih di antara kita mencintai seseorang tanpa melihat hal-hal baik dari diri orang yang kita cintai tersebut?” Dorongan dari dalam diri kita untuk mencintai orang karena dia mempunyai sesuatu yang lebih di dalam dirinya adalah dorongan yang wajar, sewajar dorongan yang menggerakkan kita untuk memejamkan mata ketika kita mengantuk. Bahkan, sadar atau tidak, sebenarnya setiap kita mempunyai dorongan untuk ‘mengambil keuntungan’ dari hal-hal baik yang ada dalam diri pasangan kita. “Siapa sih di antara kita yang ingin menjadi lebih buruk ketika kita menjalin hubungan atau hidup bersama dengan orang yang kita cintai?” Kita tentu saja berharap menjadi lebih baik, dan harapan itu berusaha kita penuhi salah satunya melalui hal-hal baik yang ada dalam diri orang yang kita cintai. Maka pertanyaan ‘Siapa sih’ saya yang ketiga adalah: “Siapa sih di antara kita yang mencintai bukan karena ada apanya?”


Tindakan mencintai bak anak kecil yang mengumpulkan uang di dalam celengan. Setiap uang yang disimpan pastilah uang ‘lengkap’ dengan dua sisi mata uang. Dia tidak bisa ‘membuang’ salah satu sisi mata uang karena katakanlah dia tidak suka dengan gambar yang ada di salah satu sisi uang tersebut. Jika dia mau uang tersebut, dia harus menerima kedua sisi mata uang itu walaupun dia tidak menyukai salah satu sisinya. Uang dalam tabungannya akan bernilai jika dia menerima semua uang yang ada di dalamnya secara lengkap, menerima kedua sisinya. Kalau dengan cara tertentu dia membuat salah satu sisi uang tersebut rusak, itu akan merusak sisi yang lain juga. Nilai uang tersebut hilang. ‘Tabungan cinta’ kita akan menjadi sesuatu yang bernilai apabila kita menerima ‘dua sisi’ orang yang kita cintai. Nah, dalam hal inilah mencintai ‘apa adanya’ berperan. Mencintai ‘apa adanya’ adalah tingkatan lanjut dalam mencintai setelah kita melalui tingkatan yang merupakan sifat alami dari setiap kita, yaitu mencintai karena ‘ada apanya’ . Mencintai ‘apa adanya’ adalah keberanian untuk menerima orang yang kita cintai secara lengkap dan utuh dengan segala sisi yang ada dalam diri orang tersebut sebagai pribadi yang unik. Mencintai ‘apa adanya’ membutuhkan nyali. “Siapakah gerangan di antara kita yang pemberani?”


Sebagian orang menjadi ‘parasit’ bagi pasangannya, mereka tidak bergerak dari titik mencintai karena ‘ada apanya’ . Pada akhirnya, cinta mereka hanyalah cinta pada dirinya semata. Sebagian orang yang lain salah kaprah memahami mencintai ‘apa adanya’ sebagai tindakan membiarkan orang yang dicintainya menjadi seadanya, tidak membawa apa-apa saja yang masih ada di ‘titik rendah’ ke tingkat yang lebih tinggi. Semangat mencintai ‘apa adanya’ merupakan perpaduan dua ramuan penting, yaitu menerima tanpa syarat dan memaksimalkan orang yang kita cintai. Menyadari dan menerima sepenuhnya bahwa mencintai karena ‘ada apanya’ adalah sifat alami kita dan kemudian membulatkan tekad serta melakukan usaha keras untuk mencintai ‘apa adanya’ adalah formula lengkap dalam mencintai. Seorang pecinta sejati mencintai karena ‘ada apanya’ sekaligus mencintai ‘apa adanya' .




(Surabaya, Februari 2012, untuk Cinta, yang dicinta, dan para pecinta)

Thursday, December 29, 2011

"Pergi ke Pasar, yok!"

“Ada rentang waktu sekitar 16 bulan dari ‘Membaca Warna’ hingga hari ini, akhir Desember 2011. Itu adalah rentang waktu yang lama, terlalu lama, namun tidak cukup kuat untuk membunuh semangat saya dalam berbagi inspirasi dan melukis warna warni di jiwa kita. Luapan terima kasih tiada henti saya alirkan untuk para penikmat j o h N o t e yang memberi penghargaan pada tulisan saya dan menyuntikkan ‘adrenalin semangat’ pada saya untuk terus menulis. Mereka percaya bahwa masih ada warna warni dalam diri saya yang belum saya lukiskan, karena merekalah saya yakin, saya harus tetap melukis. Hati dan hidup saya persembahkan untuk Sumber Inspirasi saya yang selalu dan tetap akan setia memberi inspirasi pada saya walaupun seringkali saya abai dan lalai. Setelah 16 bulan, Inilah j o h N o t e, sekeping rasa syukur saya untuk kehidupan, yang saya persembahkan bagi kita dan Dia. . .”


Pasar tradisional selalu mempunyai daya tarik tersendiri bagi saya. Saya memang tidak mempunyai waktu untuk pergi ke pasar tradisional secara rutin, namun dalam sekian kali kunjungan saya di beberapa pasar tradisional itu, saya selalu terpesona. Pasar tradisional jauh dari kemegahan dan keindahan. Satu kata yang cukup bisa menggambarkan keadaannya adalah ‘kotor’. ‘Berantakan’ dan ‘panas’ adalah dua kata yang lain. Para penjual di sana, sejauh yang saya tahu, rata-rata jauh dari riasan wajah dan baju yang gemerlap, demikian juga dengan para pembeli. Mereka datang berbelanja dengan baju seadanya, kaos dan celana pendek lama, yang mungkin saja dipakai untuk tidur malam sebelumnya. Mereka mungkin juga belum mandi dan atau menggosok gigi, apalagi merias wajah. Pasar menawarkan warna-warni dan kesegaran yang jujur pada kita. Sayur-sayuran, buah-buahan, berbagai macam ikan, daging ayam, dan daging sapi hanyalah sekelumit warna warni segar tersebut. Mereka ditata tanpa riasan dan hiasan, murni apa adanya. Pasar menghadirkan senyum, tawa lepas, perbincangan hangat, tangan-tangan ringan yang terulur siap membantu, wajah cemberut, senyum masam, gosip, teriakan, umpatan, dan banyak lagi warna-warni jiwa di sana. Ada kehidupan di sana. Pasar adalah salah satu tempat yang tersisa, dimana kita, manusia, bisa menghayati citra diri kita sebagai makhluk sosial yang saling terkait dan membutuhkan satu sama lain dalam interaksi yang jujur apa adanya. Warna-warni dan kesegaran yang jujur tersebut hadir di tempat yang kotor, berantakan, dan panas bernama pasar, di antara orang-orang yang tampil apa adanya. Bagaimana mungkin saya tidak terpesona olehnya?

Para pemilik modal dengan kostum bernama modernisasi kemudian datang dan –kata mereka- berusaha memperbaiki keadaan. ‘Kotor’, ‘berantakan’, dan ‘panas’ disulap menjadi ‘bersih’, ‘tertata rapi’, dan ‘sejuk’. Itulah kemegahan dan keindahan yang mereka hadirkan dan diperkenalkan kepada kita sebagai ‘supermarket’ dan ‘mal’. Itulah simbol status sosial baru bagi beberapa orang. Tempat baru yang bersih, tertata rapi, dan sejuk tersebut menghadirkan warna-warni yang kurang lebih sama dengan apa yang dihadirkan tempat yang lama, hanya dalam kemasan yang dalam pengamatan saya sama sekali berbeda. Kesegaran dan kejujuran yang ada lambat laun sirna tertutup gemerlap yang ada di sana. Mal menjadi tempat sosialisasi plus ajang pamer dan pendongkrak harga diri bagi sebagian orang. Apa yang kotor, berantakan, dan panas tentu saja tidak perlu dijaga, sedangkan yang bersih, tertata rapi, dan sejuk sudah pasti harus dijaga sedemikian rupa. Ya, harga barang harus dijaga, harus pantas, demikian juga dengan penampilan, harus wah selaras dengan kemegahan gedung. Usaha menjaga yang sedemikian rupa tentu saja membutuhkan biaya selangit yang tidak tergapai bagi sebagian besar orang. Suka atau tidak, pada akhirnya tercipta sekat. Tidak semua orang bisa datang ke sana seperti setiap orang bisa datang ke pasar. Sadar atau tidak, usaha menjaga tersebut lambat laun melunturkan esensi. Kesegaran dan ketulusan berinteraksi menjadi nomor kesekian di bawah satu mantra ajaib: ‘jaim’. Perumahan padat penduduk, dimana rumah-rumah kecil berdiri rapat berhimpitan dan orang-orang berjubel melakukan segala sesuatu di sana, yaitu tempat yang kita kenal dengan sebutan ‘kampung’ dan kompleks perumahan serta apartemen yang semakin marak berdiri adalah satu lagi perbandingan yang ada di depan mata kita, yang dalam pengamatan saya dengan jelas menggambarkan semakin kuatnya keruntuhan esensi kita sebagai makhluk sosial. Sama halnya dengan kemajuan teknologi komunikasi yang membawa ironi dalam pola komunikasi kita. Manusia semakin fasih menggunakan teknologi komunikasi yang ‘smart’, namun tergagap-gagap dalam interaksi dengan sesamanya, bahkan manusia semakin kejam terhadap sesamanya. Interaksi langsung yang hangat dan penuh dinamika tergantikan dengan teknologi yang hangatnya semu dan senyum serta ekspresi palsu karena itu bukan milik kita. Saya jadi bertanya-tanya, ketika saya menyapa, tersenyum, marah, dan berinteraksi dengan siapa saja menggunakan teknologi ‘smart’ tersebut, yang sedang berinteraksi tuh saya atau teknologi bernama Yahoo Messenger, MSN, BlackBerry Messenger, Facebook, Twitter, dan WhatsApp ya?? Saya bukan penganut paham sosialis atau orang sinis, saya hanya mengamati.

Ah, betapa saya menyayangkan pasar yang semakin terpuruk di dasar. Saya khawatir jumlahnya akan semakin berkurang, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah hilangnya warna-warni jiwa yang segar dan jujur itu. Ah, betapa saya merindukan interaksi yang jauh dari segala benda canggih berlabel ‘smart’ dengan keluarga, sahabat, dan teman-teman saya. Bertemu bergiliran di rumah-rumah untuk berdiskusi atau bersenda gurau dan makan bersama atau mengadakan ‘open house’ di hari-hari spesial tentu akan membawa kehangatan dalam jiwa dan mengembalikan kembali kesegaran dan kejujuran interaksi kita. Mengunjungi pasar, sebelum mereka benar-benar punah akan jadi kegiatan yang sangat menyenangkan. Saya bisa mengamati dan belajar banyak di sana. Mengutip Bre Redana dalam salah satu tulisannya di KOMPAS, kemajuan teknologi komunikasi telah sampai pada satu paradoks: dia memisahkan, bukan menghubungkan. Semoga kita tidak semakin tenggelam dalam kubangan itu. Ayo, keluar, sebentar lagi sudah 2012!

(Surabaya, akhir 2011)

Monday, August 23, 2010

Membaca Warna

Kurang lebih dalam lima bulan terakhir ini, saya kembali mengalami masa mati suri. Roh pujangga saya terhimpit di tengah lelah, lelah, dan lelah. Aktivitas sehari-hari saya nampaknya menguras banyak energi jiwa, sehingga asupan gizi kreativitas dan konsistensi yang menjadi bahan bakar utama saya untuk berbagi inspirasi dan warna warni jiwa, menjadi memudar. Saya bersyukur karena memudar tidaklah berarti bubar, bersyukur untuk sore cerah saat nyala hijau lampu lalu lintas di perempatan jalan raya itu memanggil roh pujangga saya kembali di sini, berbagi isi hati, menoreh inspirasi.

Jalan raya, dimanapun dia berada dan bagaimanapun rupanya, paling tidak punya kesamaan dalam satu hal: Warna. Merah, kuning, dan hijau hadir di jalan raya bagaikan kafein dalam kopi, O2 dalam H2O, dan bintang dalam bentang langit malam. Tak terpisahkan. Warna warni tersebut tak terpisahkan baik dari diri mereka sendiri maupun dari jalan raya. Lampu lalu lintas. Itulah nama yang kita berikan pada wujud penjelmaan merah, kuning, dan hijau di jalan raya. Ini bukan penjelmaan biasa, ini adalah satu sistem yang menjaga stabilitas dan memastikan semua pengguna jalan raya berada dalam keadaan aman terkendali.

Semua pengguna jalan raya fasih bercakap bahasa warna, namun tampaknya tidak semua orang bersedia memahami makna di balik bahasa tersebut. Orang-orang tertentu hanya memaknainya sebagai warna warni yang akan membawa mereka pada hilangnya beberapa puluh ribu rupiah jika mereka mengabaikan bahasa warna tersebut, yang lain bahkan merubah kesepakatan bahasa warna yang ada menurut kemauan mereka sendiri. Dalam hal ini, hijau menjadi pemenang. Orang-orang tersebut seringkali memaknai merah dan kuning sebagai hijau. Di mata mereka, lampu lalu lintas, sesuai dengan urutannya, dari atas ke bawah, adalah hijau, hijau, dan hijau.

Ketika merah atau kuning menjadi hijau, itu bukanlah sekedar kesalahan pemaknaan bahasa warna, itu adalah pengingkaran sistem, goncangan bagi stabilitas alam jalan raya. Kalau engkau adalah pelaku perubahan makna bahasa warna tersebut, engkau sedang bersiap kehilangan sesuatu dari dirimu, bahkan dirimu sendiri. Engkau juga berpeluang besar mengambil sesuatu dari sesamamu yang ada di jalan raya. Jalan raya perlu kerjasama dari semua penggunanya, namun dia tidak pernah bisa melarang siapapun yang enggan, dia hanya punya satu pesan tak terucap yang terdengar dengan jelas: “Kalau engkau enggan, jalanan sudah tahu bagaimana seharusnya dia memperlakukanmu dengan sepantasnya.”

Kehidupan seringkali menyatakan dirinya dengan sederhana, dalam skala mikro, untuk memperkenalkan dirinya pada kita. Sore itu dia hadir, memperkenalkan secuil dari dirinya pada saya dalam wujud jalan raya. Jalan raya mempunyai warna warni merah, kuning, dan hijau yang menjelma menjadi satu sistem penjaga stabilitas bernama lampu lalu lintas. Warna warni merah, kuning, dan hijau di jalan raya mengkomunikasikan bahasa warna sederhana untuk memberitahukan pada kita kapan kita harus berhenti, bersiap untuk berhenti atau berjalan, dan kapan kita bisa terus berjalan. Semua yang ada di jalan raya akan tetap menjadi baik jika bahasa itu dipahami dengan baik pula.

Kehidupan mempunyai berlaksa warna warni yang menjelma menjadi beragam masa dalam hidup kita. Orang bijak mengatakan bahwa segala sesuatu dalam hidup ini ada masanya, dan pada masa segala sesuatu itu terjadi, segala sesuatu itu indah belaka. Itulah kehidupan. Kau tak pernah bisa memilih yang biru dan menolak yang hitam, mengecap yang jingga tanpa mencicipi yang abu abu. Apa yang penting adalah mengenali warna kehidupan dan memahami bahasa setiap warna dengan baik sehingga kita tahu bagaimana seharusnya kita berlaku terhadap diri kita dan kehidupan, sama seperti kita mengenali dan paham bahasa warna di jalan raya.

Mengenali dan kemudian memahami makna bahasa warna di jalan raya adalah pilihan, begitu juga dengan upaya kita mengenali warna kehidupan untuk kemudian memahami atau mengingkarinya, adalah pilihan. Setiap pilihan, cepat atau lambat akan memberikan kita buah –baik pahit maupun manis- yang akan kita nikmati. Ketika putih atau ungu, atau warna apapun menyapa hidupmu, kau bisa memilih untuk menjadi serasi atau mengingkari mereka. Dalam alam jalan raya, ketika merah dan kuning menjadi hijau, stabilitas tergoncang dan kekacauan menyeruak masuk. Itulah miniatur kehidupan. Mengingkari warna yang sedang ada dalam hidup kita sama halnya dengan menorehkan padanan warna yang salah dalam kanvas hidup kita. Keindahan yang seharusnya hadir di setiap warna dan dalam setiap masa di hidup kita menjadi tiada. Namun kehidupan tak kan pernah memaksa. Ketika kau mengingkari warnanya, kehidupan tahu pasti bagaimana seharusnya dia memperlakukanmu dengan sepantasnya.

Dia yang bijak tahu dengan pasti warna yang sedang ada di hidupnya, mengenali warna tersebut, dan menorehkan padanan warna yang serasi, sehingga dia akan melihat bahwa apapun warna di hidupnya, tiap masa dalam hidupnya adalah indah. Dia yang bijak tahu karena dia belajar dari kehidupan dan Sang Pelukis Hidup.



(Surabaya, Agustus 2010)

Sunday, March 14, 2010

Penghargaan Berharga

Bayangkan ketika suatu pagi kita bangun dari tidur kita, tiba-tiba ada label harga terpasang pada benda-benda di sekitar kita. Saya membayangkan label harga tersebut terpasang di mana-mana, di baju, celana, underwear, kasur, dan semua benda lain di kamar saya. Ketika saya ke kamar mandi untuk menggosok gigi, label harga tersebut terpasang pada pasta gigi, sikat gigi, dan benda-benda lain yang ada di kamar mandi saya. Hal tersebut terus berlanjut ketika saya keluar dari kamar dan melakukan aktivitas saya hari itu. Label harga tersebut ada di mana-mana! Kita hidup di dalam dunia dimana hampir semua benda yang ada di sekeliling kita mempunyai harga tertentu. Ungkapan ‘Tidak ada yang gratis di dunia ini’ bagi saya adalah ungkapan yang relevan, yang dengan sempurna menggambarkan dunia dimana kita hidup di dalamnya. Penilaian/pemberian harga terhadap suatu benda adalah hal yang lazim dalam dunia kita, selazim aktivitas bernafas yang terus berjalan, dengan atau tanpa kesadaran kita. Seluruh aktivitas kita dalam dunia ini, dari kita lahir sampai kita kembali pada Sang Hidup -jika kita sadari- tenggelam dalam satu pusaran kuat: uang. Pusaran tersebut melatih dan membentuk kita selama tahun-tahun hidup kita dan menjadikan kita ahli menaksir dan memberi nilai pada suatu barang, mengkonsumsinya, mengeksplorasinya untuk mendapatkan nilai maksimal dari barang tersebut, bahkan ‘mengeksploitasinya’ untuk mendapat apa yang menjadi kesukaan kita semua: laba.


Hal yang serupa tapi tak sama, sadar atau tidak, dan tanpa bisa kita elakkan lagi, kita gunakan pada orang-orang, siapa saja yang ada di sekeliling kita. Sepanjang waktu dalam hidup kita, sadar atau tidak, kita membuat penilaian-penilaian tertentu atas orang-orang tertentu dan mengekspresikan penilaian tersebut lewat penghargaan yang kita tunjukkan dengan cara kita memperlakukan orang-orang tersebut. Cara kita menghargai orang lain menempatkan diri kita pada tempat-tempat tertentu, dimana kita memandang kehidupan dengan cara yang berbeda dari masing-masing tempat dimana kita berada.


Ada sangat banyak orang yang menilai segala sesuatu hanya berdasarkan pada apa yang terlihat/nampak secara fisik dan kemudian membawa pendekatan itu dalam menghargai orang lain. Mereka ada pada tempat yang memberi mereka pandangan bak televisi hitam putih dalam memandang kehidupan dan orang-orang yang ada di dalamnya. Orang yang mempunyai tampilan fisik yang prima, lengkap dengan segala asesoris wah yang melekat padanya mendapat penghargaan yang spesial, orang yang pandai berbicara dan terlihat mempunyai pendidikan tinggi mendapatkan kekaguman yang melambung, orang yang rajin melakukan aktivitas agama dipandang sebagai orang baik bak malaikat, sebaliknya orang yang berpenampilan sederhana, atau bahkan yang terlihat urakan dan ‘kurang sopan santun’ hanya dipandang sebelah mata. Itulah yang lazim terjadi dalam dunia kita, kelaziman yang menahun dan terus berlanjut walaupun kepalsuan telah membuka kedoknya di depan mata kita dan menunjukkan bahwa beberapa dari orang-orang yang nampak serba wah itu ternyata hanyalah penipu belaka, bahkan penindas dan pelahap sesamanya. Itulah ‘televisi hitam’ putih yang memenjarakan banyak jiwa.


Kita adalah ahli dalam membuat penghargaan bagi orang-orang yang memang layak mendapatkannya. Mulai dari lingkup yang kecil, misalnya di kelas, sampai lingkup yang lebih besar, di sekolah, di kota, hingga di tingkat nasional dan sampai di tingkat dunia, ada banyak sekali bentuk penghargaan yang diberikan untuk orang-orang yang memang layak mendapatkannya. Saya sendiri pernah terlibat dalam memberikan penilaian saya untuk menentukan siapa saja murid dalam kelas saya yang layak mendapatkan penghargaan dari sekolah sebagai murid-murid yang berprestasi secara akademik, yang berkelakukan baik, dsb. Penghargaan bergengsi dalam dunia film, piala Oscar, baru saja diberikan untuk film ‘Hurt Locker’ yang dinobatkan sebagai film terbaik. Para ‘gila bola’ tentu tahu bahwa Lionel Messi telah dinobatkan sebagai pemain sepak bola terbaik dunia 2009, dalam skala yang lebih kecil, Didier Drogba dinobatkan sebagai pemain sepak bola terbaik Afrika 2009. Daftar berbagai penghargaan tersebut masih panjang dan saya memilih untuk tidak menuliskannya karena bukan itu esensinya. Dalam segala kemeriahan pemberian penghargaan tersebut, kita bisa melihat satu bentuk penghargaan lain yang kita berikan pada orang lain, bukan penghargaan atas apa yang terlihat/nampak secara fisik saja, tapi penghargaan karena kualitas yang dipunyai orang tersebut. Kualitas tidak bisa ditipu dan memang pantas untuk dihargai. Setiap orang memerlukan dan mencari kualitas dalam hidupnya. Kesediaan kita untuk berpindah dari tempat dimana kita menghargai orang lain hanya dari apa yang nampak secara fisik ke tempat dimana kita menghargai orang lain karena kualitas yang ada pada dirinya, akan memberikan pada kita pandangan bahwa baik buruknya kehidupan ditentukan oleh kualitas orang-orang dalam kehidupan tersebut dalam setiap sisi kehidupan mereka. Di tempat ini, peningkatan adalah bahan bakar, sedangkan penghargaan adalah bonus jika kita mencapai garis akhir dengan kualitas berkelas. Tempat yang sama menyodorkan cermin untuk kita merenung:


“Kualitas apa yang aku hargai dari diriku? Masih penuh atau sudah kosong tak bersisakah bahan bakarku?”
“Apa yang aku hargai dari suami/istri, kekasih, sahabat, teman, dan siapa saja yang ada dalam hidupku? Masih mampukah aku melihat kualitas mereka sekalipun dalam buram dan kemudian bersyukur atas kualitas yang juga turut aku nikmati kemilaunya itu?”


Menghargai orang hanya dari apa yang terlihat secara fisik nampaknya bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, bahkan penghargaan jenis yang satu ini nampak seperti mesin otomatis yang bekerja dengan baik dalam diri orang-orang, banyak sekali orang. Ini adalah satu cara penghargaan yang sudah memakan banyak korban tapi masih tetap mempunyai banyak peminat. Fakta memanglah menyakitkan.


Menghargai orang dari kualitas yang ada pada diri orang tersebut, bagi sebagian orang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, perlu hati yang lapang dan usaha keras untuk mengakui, mengagumi dan belajar dari orang yang mempunyai kualitas yang lebih baik bagi kita. Pada waktu-waktu tertentu, kita perlu usaha ekstra untuk tetap melihat kualitas orang-orang yang dekat, orang-orang yang kita cintai, sekalipun dalam keadaan yang buram dan jarak pandang yang terbatas. Di sisi yang berbeda, sebagian orang yang lain mau dan mampu untuk memilih jenis penghargaan seperti ini. Fakta kadang juga memberi oase.


Kita hidup dalam dunia fana dimana apa yang ada hari ini bisa saja mendadak lenyap esok hari atau kapan saja tanpa kita mau, tanpa kita tahu. Apa yang ada pada kita hari ini –segala yang ‘wah’ yang kita punyai- mungkin akan hilang esok hari atau entah kapan. Kualitas yang kita punyai, yang sekarang berdiri kokoh, bisa roboh karena kita terkecoh dan terlalu bodoh untuk menyerahkan diri kita pada candu dunia. Ketika kualitas memudar, apalagi kilau segala yang ‘wah’ pada diri orang lain tak lagi mengkilat, apakah kita akan tetap menghargai? Terlalu mudah untuk berkata tidak, dan memanglah susah untuk memberikan kesanggupan kita. Dalam dunia yang fana ini, kita perlu sesuatu yang lebih dalam penghargaan kita pada orang lain, kita memerlukan cara penghargaan yang akan tetap bertahan terhadap perubahan apapun, yang akan memampukan kita menyimpan apa yang esensi: Menghargai. Penghargaan yang didasarkan pada apa yang ada dalam diri orang lain -baik segala yang ‘wah’ maupun kualitas yang dipunyai orang tersebut- bersifat sementara dan rentan berubah apabila keadaan dan orang tersebut berubah. Di sisi yang lain, penghargaan yang didasarkan pada kualitas yang ada dalam diri kita, yaitu kualitas untuk menghargai orang lain itu sendiri adalah penghargaan yang tahan terhadap perubahan.


Kualitas ini menilai setiap orang -tidak peduli bagaimana keadaan mereka- sebagai orang yang penting dan berharga. Orang yang penting akan kita perlakukan dengan penuh rasa hormat, orang yang berharga akan kita perlakukan dengan baik supaya dia bisa menjadi lebih baik lagi, supaya kualitas dalam dirinya ditemukan dan ditingkatkan, dan untuk orang yang penting dan berharga, kita akan memastikan bahan bakar mereka tetap terisi penuh supaya mereka bisa mencapai garis akhir dengan kualitas yang berkelas. Penghargaan dengan kualitas seperti ini hanya datang dari Sang Hidup.

Monday, February 22, 2010

Sisi

Mari berbicara tentang sisi. Sisi yang saya maksud disini bukan “sisi” yang biasa saya dan banyak orang lain gunakan untuk menggambarkan aktivitas membuang ingus. Untuk membuang ingus, tentu saja kita harus tahu sisi mana dari hidung kita yang tersumbat ingus dan perlu pelepasan lewat aktivitas “sisi”. Aktivitas itu sungguh melegakan, memberi efek “plong” untuk hidung kita yang tersumbat. Seandainya kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali sisi hidung kita yang perlu “disisikan”, wah… yang tersumbat tetap akan tersumbat, dan aktivitas “sisi” menjadi aktivitas yang sia-sia hanya karena kita tidak bisa mengenali salah satu sisi tubuh kita dengan baik.

Pemahaman tentang sisi menuntut kualifikasi yang nampaknya sederhana, namun tidak sesederhana yang kita pikirkan, walaupun juga tidak serumit sangkaan kita. Kualifikasi tersebut adalah kemampuan untuk mengenali sisi dengan baik dan memaksimalkan pengenalan tersebut bagi kehidupan, diri kita, dan orang-orang di sekitar kita. Mengenali sisi-sisi kehidupan, pada waktu-waktu tertentu terasa lebih sederhana daripada mempelajari sisi-sisi bangun ruang dalam pelajaran Matematika, namun pada waktu yang lain, yang sebaliknya terjadi. Ketika kita tidak mampu mengenali dengan baik sisi lain kehidupan dimana kita berada, ketidaknormalan mengetuk dan langsung masuk, tanpa basa basi dia menusuk dan membuat kita merasa semakin buruk dan terpuruk. Mengenali sisi-sisi kehidupan kita dengan baik adalah penting, dalam skala mikro dan konteks dunia fisik, itu sama pentingnya dengan mengenali sisi mana dari hidung kita yang tersumbat supaya kita bisa mempunyai “sisi” yang tepat, supaya “plong”.

Ada satu hal sederhana mengenai sisi kehidupan yang saya percaya sudah kita ketahui, namun seringkali tidak kita sadari, yaitu bahwa kehidupan selalu mempunyai banyak sisi. Kesadaran bahwa kehidupan bersifat “multi sisi” menjadi hal vital dalam perjalanan hidup kita. Saat dimana kita berhenti hanya pada pengetahuan bahwa kehidupan mempunyai banyak sisi, itulah saat dimana kita akan menjadi frustasi ketika kehidupan seolah-olah tak berkawan lagi dengan kita. Kita perlu memperhatikan kehidupan dengan cermat dan kemudian berjalan lebih jauh, berlari lebih kencang, dan melompat lebih tinggi untuk menggapai kesadaran bahwa kehidupan bersifat multi sisi, selalu ada sisi lain yang bisa kita lihat, sisi yang memberi pencerahan, ide, semangat, inovasi, pandangan, dan solusi baru. Pengetahuan mengisi kita dengan bahan bakar, kesadaran mengaktifkan “tombol on” dalam diri kita untuk kita berbuat sesuatu, seperti kata seorang politikus beberapa waktu yang lalu, “Hidup adalah Perbuatan”.


Upaya untuk memperhatikan kehidupan serta usaha keras untuk berjalan, berlari, dan melompat demi menggapai kesadaran yang membawa kita pada perbuatan adalah apa yang saya pelajari untuk saya lakukan dalam waktu-waktu dalam kehidupan saya, khususnya beberapa bulan terakhir ini, ketika saya memilih untuk menjadi pengangguran, pelajaran besar lainnya adalah dalam beberapa tahun terakhir dalam hidup saya, ketika saya memilih untuk melepas orang yang masih saya sayangi. Pada saat-saat itulah, saya menemukan dan melihat sisi lain dalam kehidupan saya, sisi yang mempunyai keindahan yang berbeda yang mengajarkan pada saya ramahnya warna warni kehidupan, serta betapa setia dan baiknya Sang Hidup.

Upaya memperhatikan kehidupan serta usaha untuk berjalan, berlari, dan melompat demi mencapai kesadaran dalam melihat sisi lain dalam kehidupan kita tidaklah mudah sekalipun untuk hal-hal yang bagi kita “biasa saja” atau “memang sudah begitu” karena seringkali kita melihat hal-hal tersebut hanya dalam satu sisi dan memilih mengabaikan sisi lain, apalagi untuk hal-hal “luar biasa” atau “seharusnya tidak begitu”. Upaya dan usaha tersebut memanglah tidak pernah mudah. Bagaimana saya bisa melihat sisi lain dari fakta bahwa dalam beberapa bulan terakhir ini saya pengangguran? Bagaimana saya mampu melihat sisi cerah dari kelamnya fakta bahwa saya rasa saya sudah mengambil keputusan yang salah dengan melepas orang yang masih saya sayangi? Bagaimana pula dengan seorang teman yang harus merelakan hilangnya kebahagiaan bersama istrinya hanya dalam waktu yang singkat? Bagaimana juga dengan orang-orang yang tiba-tiba kehilangan orang yang dikasihi karena kecelakaan atau bencana? Ada banyak “Bagaimana” lain yang tidak akan habis saya tuliskan, semuanya hanya menunjukkan pada kita bahwa menyadari sisi lain dari kehidupan tidaklah mudah, namun demikian ada banyak sekali kisah dari mereka yang mampu melihat sisi lain dari kehidupan dan bangkit untuk lebih mencintai kehidupan dan Sang Hidup. Saya bersyukur saya adalah salah satu dari mereka.

Tidak ada tips khusus untuk meraih kesadaran bahwa kehidupan bersifat “multi sisi”. Kehidupan akan selalu “multi sisi”, itulah karunia Sang Hidup buat kita. Jika bisa disebut tips, mengenal Sang Hidup adalah satu hal yang bisa kita lakukan untuk menyadari berbagai sisi kehidupan yang Sang Hidup anugerahkan, untuk melihat the right side of the left, the white side of the black, dan the bright side of the dark.