J o h N o t e

j o h N o t e:

It’s New!


Ternyata menulis tidaklah mudah. Salah satu tantangan terberatnya adalah konsistensi, yang notabene juga menjadi penantang kelas berat bagi seabrek aktivitas lain. Ada banyak ide yang sebenarnya mengalir dalam apa yang saya sebut sebagai ‘sungai kognitif’, ide-ide yang siap tersaji dalam aksara kaya makna, yang diharapkan bisa memberi pencerahan dan bisa melahirkan apa yang saya sebut sebagai ‘momen aha!’ bagi kita semua. Namun kemudian jalan keluar aliran tersebut tersumbat, tersekat, dan terhambat. Sumbat tersebut –seperti yang sudah saya perkenalkan di awal- ialah konsistensi. Sekat yang lain adalah kreativitas menulis, yang dalam waktu lebih dari enam bulan terakhir ini menjadi barang langka buat saya.


Menulis, di sisi lain, bagi saya adalah passion, yang walaupun dalam kurun waktu yang berlalu dia sudah mati suri karena kehabisan asupan gizi konsistensi dan kreativitas, namun ternyata tetap ada dalam diri dan kembali memanggil saya untuk melanjutkan usaha berbagi inspirasi dan melukis warna warni di jiwa kita.


Dalam tahapan hidup saya sekarang, menulis juga berarti proses bertumbuh. Itulah penjelasan atas berubahnya style tulisan saya. Ada beberapa tulisan dari J o h N o t e yang dengan pertimbangan tertentu tetap saya sertakan di sini. Ini tulisan yang sama mengenai kehidupan, yang tetap dihadirkan dengan penuh rasa cinta pada kita semua, pada kehidupan dan Hidup itu sendiri. Inilah j o h N o t e.

Monday, February 20, 2012

Apa Adanya dengan ‘Ada Apanya’ , Ada Apanya dengan ‘Apa Adanya’ ?

Ketika kita berbicara tentang cinta, ada berbagai macam ungkapan dan ekspresi yang berusaha menggambarkan cinta, salah satunya adalah ungkapan yang seringkali kita dengar, yang menghimbau kita untuk mencintai 'apa adanya' , bukan mencintai karena 'ada apanya' . Ungkapan itu sering saya dengar, bahkan, penggalan ungkapan tersebut, yaitu mencintai apa adanya juga sesekali saya ucapkan. Hari itu, pagi-pagi sekali, di hari yang dirayakan banyak orang sebagai ‘Hari Kasih Sayang’ , atau ‘Hari Valentine’ , seorang teman memberikan pesan yang dititipkan pada RIM melalui teknologi BBM-nya untuk diteruskan pada teman-temannya yang lain, termasuk saya :) Pesan yang sudah biasa saya dengar dan baca tersebut, pesan untuk mencintai 'apa adanya' dan bukan karena 'ada apanya' , pagi itu saya baca dengan cara pandang yang berbeda. Entah kenapa.


Ketika ungkapan “Cintailah bla bla bla mu (bla bla bla bisa diganti apa saja, merujuk pada orang tertentu) 'apa adanya' , bukan karena 'ada apanya' ” diungkapkan, ada satu kondisi kontras yang tak terbantahkan di sana, kontras antara ‘apa adanya’ dengan ‘ada apanya’ . Di satu sisi, ‘apa adanya’ mempunyai label positif, dia digambarkan sebagai salah satu ‘tindakan heroik’ cinta, yaitu walaupun bla bla bla yang kita cintai penuh dengan kekurangan ini itu, kita tetap mau menerima dan memberikan kasih sayang kita padanya. Di sisi lain, kontras dengan ‘apa adanya’ , tentu saja ‘ada apanya’ mempunyai label negatif, dia digambarkan sebagai ‘tindakan parasit’ bersalutkan cinta, yaitu mencintai karena ingin memenuhi kepentingan dan keuntungan pribadi. Pagi itu, entah kenapa, bagi saya ada yang salah dari label tersebut, dalam cara pandang saya, label tersebut berlebihan, bahkan tidak adil. Pagi itu, ‘apa adanya’ dan ‘ada apanya’ menjadi hal yang penting bagi saya.


Tindakan mencintai karena ‘ada apanya’ terlanjur lekat dengan label negatif, namun sesungguhnya, jika kita mencermatinya, tindakan tersebut adalah satu kewajaran. Sewajar ketika kita makan bila kita merasa lapar. Ketika kita mencintai karena ‘ada apanya’ , kita melihat sesuatu yang baik dari orang yang kita cintai, dimana hal itu menguntungkan kita, membuat diri kita lebih baik, bahkan mungkin membuat hidup kita menjadi lebih sejahtera. “Siapa sih di antara kita mencintai seseorang tanpa melihat hal-hal baik dari diri orang yang kita cintai tersebut?” Dorongan dari dalam diri kita untuk mencintai orang karena dia mempunyai sesuatu yang lebih di dalam dirinya adalah dorongan yang wajar, sewajar dorongan yang menggerakkan kita untuk memejamkan mata ketika kita mengantuk. Bahkan, sadar atau tidak, sebenarnya setiap kita mempunyai dorongan untuk ‘mengambil keuntungan’ dari hal-hal baik yang ada dalam diri pasangan kita. “Siapa sih di antara kita yang ingin menjadi lebih buruk ketika kita menjalin hubungan atau hidup bersama dengan orang yang kita cintai?” Kita tentu saja berharap menjadi lebih baik, dan harapan itu berusaha kita penuhi salah satunya melalui hal-hal baik yang ada dalam diri orang yang kita cintai. Maka pertanyaan ‘Siapa sih’ saya yang ketiga adalah: “Siapa sih di antara kita yang mencintai bukan karena ada apanya?”


Tindakan mencintai bak anak kecil yang mengumpulkan uang di dalam celengan. Setiap uang yang disimpan pastilah uang ‘lengkap’ dengan dua sisi mata uang. Dia tidak bisa ‘membuang’ salah satu sisi mata uang karena katakanlah dia tidak suka dengan gambar yang ada di salah satu sisi uang tersebut. Jika dia mau uang tersebut, dia harus menerima kedua sisi mata uang itu walaupun dia tidak menyukai salah satu sisinya. Uang dalam tabungannya akan bernilai jika dia menerima semua uang yang ada di dalamnya secara lengkap, menerima kedua sisinya. Kalau dengan cara tertentu dia membuat salah satu sisi uang tersebut rusak, itu akan merusak sisi yang lain juga. Nilai uang tersebut hilang. ‘Tabungan cinta’ kita akan menjadi sesuatu yang bernilai apabila kita menerima ‘dua sisi’ orang yang kita cintai. Nah, dalam hal inilah mencintai ‘apa adanya’ berperan. Mencintai ‘apa adanya’ adalah tingkatan lanjut dalam mencintai setelah kita melalui tingkatan yang merupakan sifat alami dari setiap kita, yaitu mencintai karena ‘ada apanya’ . Mencintai ‘apa adanya’ adalah keberanian untuk menerima orang yang kita cintai secara lengkap dan utuh dengan segala sisi yang ada dalam diri orang tersebut sebagai pribadi yang unik. Mencintai ‘apa adanya’ membutuhkan nyali. “Siapakah gerangan di antara kita yang pemberani?”


Sebagian orang menjadi ‘parasit’ bagi pasangannya, mereka tidak bergerak dari titik mencintai karena ‘ada apanya’ . Pada akhirnya, cinta mereka hanyalah cinta pada dirinya semata. Sebagian orang yang lain salah kaprah memahami mencintai ‘apa adanya’ sebagai tindakan membiarkan orang yang dicintainya menjadi seadanya, tidak membawa apa-apa saja yang masih ada di ‘titik rendah’ ke tingkat yang lebih tinggi. Semangat mencintai ‘apa adanya’ merupakan perpaduan dua ramuan penting, yaitu menerima tanpa syarat dan memaksimalkan orang yang kita cintai. Menyadari dan menerima sepenuhnya bahwa mencintai karena ‘ada apanya’ adalah sifat alami kita dan kemudian membulatkan tekad serta melakukan usaha keras untuk mencintai ‘apa adanya’ adalah formula lengkap dalam mencintai. Seorang pecinta sejati mencintai karena ‘ada apanya’ sekaligus mencintai ‘apa adanya' .




(Surabaya, Februari 2012, untuk Cinta, yang dicinta, dan para pecinta)