J o h N o t e

j o h N o t e:

It’s New!


Ternyata menulis tidaklah mudah. Salah satu tantangan terberatnya adalah konsistensi, yang notabene juga menjadi penantang kelas berat bagi seabrek aktivitas lain. Ada banyak ide yang sebenarnya mengalir dalam apa yang saya sebut sebagai ‘sungai kognitif’, ide-ide yang siap tersaji dalam aksara kaya makna, yang diharapkan bisa memberi pencerahan dan bisa melahirkan apa yang saya sebut sebagai ‘momen aha!’ bagi kita semua. Namun kemudian jalan keluar aliran tersebut tersumbat, tersekat, dan terhambat. Sumbat tersebut –seperti yang sudah saya perkenalkan di awal- ialah konsistensi. Sekat yang lain adalah kreativitas menulis, yang dalam waktu lebih dari enam bulan terakhir ini menjadi barang langka buat saya.


Menulis, di sisi lain, bagi saya adalah passion, yang walaupun dalam kurun waktu yang berlalu dia sudah mati suri karena kehabisan asupan gizi konsistensi dan kreativitas, namun ternyata tetap ada dalam diri dan kembali memanggil saya untuk melanjutkan usaha berbagi inspirasi dan melukis warna warni di jiwa kita.


Dalam tahapan hidup saya sekarang, menulis juga berarti proses bertumbuh. Itulah penjelasan atas berubahnya style tulisan saya. Ada beberapa tulisan dari J o h N o t e yang dengan pertimbangan tertentu tetap saya sertakan di sini. Ini tulisan yang sama mengenai kehidupan, yang tetap dihadirkan dengan penuh rasa cinta pada kita semua, pada kehidupan dan Hidup itu sendiri. Inilah j o h N o t e.

Thursday, December 29, 2011

"Pergi ke Pasar, yok!"

“Ada rentang waktu sekitar 16 bulan dari ‘Membaca Warna’ hingga hari ini, akhir Desember 2011. Itu adalah rentang waktu yang lama, terlalu lama, namun tidak cukup kuat untuk membunuh semangat saya dalam berbagi inspirasi dan melukis warna warni di jiwa kita. Luapan terima kasih tiada henti saya alirkan untuk para penikmat j o h N o t e yang memberi penghargaan pada tulisan saya dan menyuntikkan ‘adrenalin semangat’ pada saya untuk terus menulis. Mereka percaya bahwa masih ada warna warni dalam diri saya yang belum saya lukiskan, karena merekalah saya yakin, saya harus tetap melukis. Hati dan hidup saya persembahkan untuk Sumber Inspirasi saya yang selalu dan tetap akan setia memberi inspirasi pada saya walaupun seringkali saya abai dan lalai. Setelah 16 bulan, Inilah j o h N o t e, sekeping rasa syukur saya untuk kehidupan, yang saya persembahkan bagi kita dan Dia. . .”


Pasar tradisional selalu mempunyai daya tarik tersendiri bagi saya. Saya memang tidak mempunyai waktu untuk pergi ke pasar tradisional secara rutin, namun dalam sekian kali kunjungan saya di beberapa pasar tradisional itu, saya selalu terpesona. Pasar tradisional jauh dari kemegahan dan keindahan. Satu kata yang cukup bisa menggambarkan keadaannya adalah ‘kotor’. ‘Berantakan’ dan ‘panas’ adalah dua kata yang lain. Para penjual di sana, sejauh yang saya tahu, rata-rata jauh dari riasan wajah dan baju yang gemerlap, demikian juga dengan para pembeli. Mereka datang berbelanja dengan baju seadanya, kaos dan celana pendek lama, yang mungkin saja dipakai untuk tidur malam sebelumnya. Mereka mungkin juga belum mandi dan atau menggosok gigi, apalagi merias wajah. Pasar menawarkan warna-warni dan kesegaran yang jujur pada kita. Sayur-sayuran, buah-buahan, berbagai macam ikan, daging ayam, dan daging sapi hanyalah sekelumit warna warni segar tersebut. Mereka ditata tanpa riasan dan hiasan, murni apa adanya. Pasar menghadirkan senyum, tawa lepas, perbincangan hangat, tangan-tangan ringan yang terulur siap membantu, wajah cemberut, senyum masam, gosip, teriakan, umpatan, dan banyak lagi warna-warni jiwa di sana. Ada kehidupan di sana. Pasar adalah salah satu tempat yang tersisa, dimana kita, manusia, bisa menghayati citra diri kita sebagai makhluk sosial yang saling terkait dan membutuhkan satu sama lain dalam interaksi yang jujur apa adanya. Warna-warni dan kesegaran yang jujur tersebut hadir di tempat yang kotor, berantakan, dan panas bernama pasar, di antara orang-orang yang tampil apa adanya. Bagaimana mungkin saya tidak terpesona olehnya?

Para pemilik modal dengan kostum bernama modernisasi kemudian datang dan –kata mereka- berusaha memperbaiki keadaan. ‘Kotor’, ‘berantakan’, dan ‘panas’ disulap menjadi ‘bersih’, ‘tertata rapi’, dan ‘sejuk’. Itulah kemegahan dan keindahan yang mereka hadirkan dan diperkenalkan kepada kita sebagai ‘supermarket’ dan ‘mal’. Itulah simbol status sosial baru bagi beberapa orang. Tempat baru yang bersih, tertata rapi, dan sejuk tersebut menghadirkan warna-warni yang kurang lebih sama dengan apa yang dihadirkan tempat yang lama, hanya dalam kemasan yang dalam pengamatan saya sama sekali berbeda. Kesegaran dan kejujuran yang ada lambat laun sirna tertutup gemerlap yang ada di sana. Mal menjadi tempat sosialisasi plus ajang pamer dan pendongkrak harga diri bagi sebagian orang. Apa yang kotor, berantakan, dan panas tentu saja tidak perlu dijaga, sedangkan yang bersih, tertata rapi, dan sejuk sudah pasti harus dijaga sedemikian rupa. Ya, harga barang harus dijaga, harus pantas, demikian juga dengan penampilan, harus wah selaras dengan kemegahan gedung. Usaha menjaga yang sedemikian rupa tentu saja membutuhkan biaya selangit yang tidak tergapai bagi sebagian besar orang. Suka atau tidak, pada akhirnya tercipta sekat. Tidak semua orang bisa datang ke sana seperti setiap orang bisa datang ke pasar. Sadar atau tidak, usaha menjaga tersebut lambat laun melunturkan esensi. Kesegaran dan ketulusan berinteraksi menjadi nomor kesekian di bawah satu mantra ajaib: ‘jaim’. Perumahan padat penduduk, dimana rumah-rumah kecil berdiri rapat berhimpitan dan orang-orang berjubel melakukan segala sesuatu di sana, yaitu tempat yang kita kenal dengan sebutan ‘kampung’ dan kompleks perumahan serta apartemen yang semakin marak berdiri adalah satu lagi perbandingan yang ada di depan mata kita, yang dalam pengamatan saya dengan jelas menggambarkan semakin kuatnya keruntuhan esensi kita sebagai makhluk sosial. Sama halnya dengan kemajuan teknologi komunikasi yang membawa ironi dalam pola komunikasi kita. Manusia semakin fasih menggunakan teknologi komunikasi yang ‘smart’, namun tergagap-gagap dalam interaksi dengan sesamanya, bahkan manusia semakin kejam terhadap sesamanya. Interaksi langsung yang hangat dan penuh dinamika tergantikan dengan teknologi yang hangatnya semu dan senyum serta ekspresi palsu karena itu bukan milik kita. Saya jadi bertanya-tanya, ketika saya menyapa, tersenyum, marah, dan berinteraksi dengan siapa saja menggunakan teknologi ‘smart’ tersebut, yang sedang berinteraksi tuh saya atau teknologi bernama Yahoo Messenger, MSN, BlackBerry Messenger, Facebook, Twitter, dan WhatsApp ya?? Saya bukan penganut paham sosialis atau orang sinis, saya hanya mengamati.

Ah, betapa saya menyayangkan pasar yang semakin terpuruk di dasar. Saya khawatir jumlahnya akan semakin berkurang, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah hilangnya warna-warni jiwa yang segar dan jujur itu. Ah, betapa saya merindukan interaksi yang jauh dari segala benda canggih berlabel ‘smart’ dengan keluarga, sahabat, dan teman-teman saya. Bertemu bergiliran di rumah-rumah untuk berdiskusi atau bersenda gurau dan makan bersama atau mengadakan ‘open house’ di hari-hari spesial tentu akan membawa kehangatan dalam jiwa dan mengembalikan kembali kesegaran dan kejujuran interaksi kita. Mengunjungi pasar, sebelum mereka benar-benar punah akan jadi kegiatan yang sangat menyenangkan. Saya bisa mengamati dan belajar banyak di sana. Mengutip Bre Redana dalam salah satu tulisannya di KOMPAS, kemajuan teknologi komunikasi telah sampai pada satu paradoks: dia memisahkan, bukan menghubungkan. Semoga kita tidak semakin tenggelam dalam kubangan itu. Ayo, keluar, sebentar lagi sudah 2012!

(Surabaya, akhir 2011)