J o h N o t e

j o h N o t e:

It’s New!


Ternyata menulis tidaklah mudah. Salah satu tantangan terberatnya adalah konsistensi, yang notabene juga menjadi penantang kelas berat bagi seabrek aktivitas lain. Ada banyak ide yang sebenarnya mengalir dalam apa yang saya sebut sebagai ‘sungai kognitif’, ide-ide yang siap tersaji dalam aksara kaya makna, yang diharapkan bisa memberi pencerahan dan bisa melahirkan apa yang saya sebut sebagai ‘momen aha!’ bagi kita semua. Namun kemudian jalan keluar aliran tersebut tersumbat, tersekat, dan terhambat. Sumbat tersebut –seperti yang sudah saya perkenalkan di awal- ialah konsistensi. Sekat yang lain adalah kreativitas menulis, yang dalam waktu lebih dari enam bulan terakhir ini menjadi barang langka buat saya.


Menulis, di sisi lain, bagi saya adalah passion, yang walaupun dalam kurun waktu yang berlalu dia sudah mati suri karena kehabisan asupan gizi konsistensi dan kreativitas, namun ternyata tetap ada dalam diri dan kembali memanggil saya untuk melanjutkan usaha berbagi inspirasi dan melukis warna warni di jiwa kita.


Dalam tahapan hidup saya sekarang, menulis juga berarti proses bertumbuh. Itulah penjelasan atas berubahnya style tulisan saya. Ada beberapa tulisan dari J o h N o t e yang dengan pertimbangan tertentu tetap saya sertakan di sini. Ini tulisan yang sama mengenai kehidupan, yang tetap dihadirkan dengan penuh rasa cinta pada kita semua, pada kehidupan dan Hidup itu sendiri. Inilah j o h N o t e.

Monday, August 23, 2010

Membaca Warna

Kurang lebih dalam lima bulan terakhir ini, saya kembali mengalami masa mati suri. Roh pujangga saya terhimpit di tengah lelah, lelah, dan lelah. Aktivitas sehari-hari saya nampaknya menguras banyak energi jiwa, sehingga asupan gizi kreativitas dan konsistensi yang menjadi bahan bakar utama saya untuk berbagi inspirasi dan warna warni jiwa, menjadi memudar. Saya bersyukur karena memudar tidaklah berarti bubar, bersyukur untuk sore cerah saat nyala hijau lampu lalu lintas di perempatan jalan raya itu memanggil roh pujangga saya kembali di sini, berbagi isi hati, menoreh inspirasi.

Jalan raya, dimanapun dia berada dan bagaimanapun rupanya, paling tidak punya kesamaan dalam satu hal: Warna. Merah, kuning, dan hijau hadir di jalan raya bagaikan kafein dalam kopi, O2 dalam H2O, dan bintang dalam bentang langit malam. Tak terpisahkan. Warna warni tersebut tak terpisahkan baik dari diri mereka sendiri maupun dari jalan raya. Lampu lalu lintas. Itulah nama yang kita berikan pada wujud penjelmaan merah, kuning, dan hijau di jalan raya. Ini bukan penjelmaan biasa, ini adalah satu sistem yang menjaga stabilitas dan memastikan semua pengguna jalan raya berada dalam keadaan aman terkendali.

Semua pengguna jalan raya fasih bercakap bahasa warna, namun tampaknya tidak semua orang bersedia memahami makna di balik bahasa tersebut. Orang-orang tertentu hanya memaknainya sebagai warna warni yang akan membawa mereka pada hilangnya beberapa puluh ribu rupiah jika mereka mengabaikan bahasa warna tersebut, yang lain bahkan merubah kesepakatan bahasa warna yang ada menurut kemauan mereka sendiri. Dalam hal ini, hijau menjadi pemenang. Orang-orang tersebut seringkali memaknai merah dan kuning sebagai hijau. Di mata mereka, lampu lalu lintas, sesuai dengan urutannya, dari atas ke bawah, adalah hijau, hijau, dan hijau.

Ketika merah atau kuning menjadi hijau, itu bukanlah sekedar kesalahan pemaknaan bahasa warna, itu adalah pengingkaran sistem, goncangan bagi stabilitas alam jalan raya. Kalau engkau adalah pelaku perubahan makna bahasa warna tersebut, engkau sedang bersiap kehilangan sesuatu dari dirimu, bahkan dirimu sendiri. Engkau juga berpeluang besar mengambil sesuatu dari sesamamu yang ada di jalan raya. Jalan raya perlu kerjasama dari semua penggunanya, namun dia tidak pernah bisa melarang siapapun yang enggan, dia hanya punya satu pesan tak terucap yang terdengar dengan jelas: “Kalau engkau enggan, jalanan sudah tahu bagaimana seharusnya dia memperlakukanmu dengan sepantasnya.”

Kehidupan seringkali menyatakan dirinya dengan sederhana, dalam skala mikro, untuk memperkenalkan dirinya pada kita. Sore itu dia hadir, memperkenalkan secuil dari dirinya pada saya dalam wujud jalan raya. Jalan raya mempunyai warna warni merah, kuning, dan hijau yang menjelma menjadi satu sistem penjaga stabilitas bernama lampu lalu lintas. Warna warni merah, kuning, dan hijau di jalan raya mengkomunikasikan bahasa warna sederhana untuk memberitahukan pada kita kapan kita harus berhenti, bersiap untuk berhenti atau berjalan, dan kapan kita bisa terus berjalan. Semua yang ada di jalan raya akan tetap menjadi baik jika bahasa itu dipahami dengan baik pula.

Kehidupan mempunyai berlaksa warna warni yang menjelma menjadi beragam masa dalam hidup kita. Orang bijak mengatakan bahwa segala sesuatu dalam hidup ini ada masanya, dan pada masa segala sesuatu itu terjadi, segala sesuatu itu indah belaka. Itulah kehidupan. Kau tak pernah bisa memilih yang biru dan menolak yang hitam, mengecap yang jingga tanpa mencicipi yang abu abu. Apa yang penting adalah mengenali warna kehidupan dan memahami bahasa setiap warna dengan baik sehingga kita tahu bagaimana seharusnya kita berlaku terhadap diri kita dan kehidupan, sama seperti kita mengenali dan paham bahasa warna di jalan raya.

Mengenali dan kemudian memahami makna bahasa warna di jalan raya adalah pilihan, begitu juga dengan upaya kita mengenali warna kehidupan untuk kemudian memahami atau mengingkarinya, adalah pilihan. Setiap pilihan, cepat atau lambat akan memberikan kita buah –baik pahit maupun manis- yang akan kita nikmati. Ketika putih atau ungu, atau warna apapun menyapa hidupmu, kau bisa memilih untuk menjadi serasi atau mengingkari mereka. Dalam alam jalan raya, ketika merah dan kuning menjadi hijau, stabilitas tergoncang dan kekacauan menyeruak masuk. Itulah miniatur kehidupan. Mengingkari warna yang sedang ada dalam hidup kita sama halnya dengan menorehkan padanan warna yang salah dalam kanvas hidup kita. Keindahan yang seharusnya hadir di setiap warna dan dalam setiap masa di hidup kita menjadi tiada. Namun kehidupan tak kan pernah memaksa. Ketika kau mengingkari warnanya, kehidupan tahu pasti bagaimana seharusnya dia memperlakukanmu dengan sepantasnya.

Dia yang bijak tahu dengan pasti warna yang sedang ada di hidupnya, mengenali warna tersebut, dan menorehkan padanan warna yang serasi, sehingga dia akan melihat bahwa apapun warna di hidupnya, tiap masa dalam hidupnya adalah indah. Dia yang bijak tahu karena dia belajar dari kehidupan dan Sang Pelukis Hidup.



(Surabaya, Agustus 2010)

Sunday, March 14, 2010

Penghargaan Berharga

Bayangkan ketika suatu pagi kita bangun dari tidur kita, tiba-tiba ada label harga terpasang pada benda-benda di sekitar kita. Saya membayangkan label harga tersebut terpasang di mana-mana, di baju, celana, underwear, kasur, dan semua benda lain di kamar saya. Ketika saya ke kamar mandi untuk menggosok gigi, label harga tersebut terpasang pada pasta gigi, sikat gigi, dan benda-benda lain yang ada di kamar mandi saya. Hal tersebut terus berlanjut ketika saya keluar dari kamar dan melakukan aktivitas saya hari itu. Label harga tersebut ada di mana-mana! Kita hidup di dalam dunia dimana hampir semua benda yang ada di sekeliling kita mempunyai harga tertentu. Ungkapan ‘Tidak ada yang gratis di dunia ini’ bagi saya adalah ungkapan yang relevan, yang dengan sempurna menggambarkan dunia dimana kita hidup di dalamnya. Penilaian/pemberian harga terhadap suatu benda adalah hal yang lazim dalam dunia kita, selazim aktivitas bernafas yang terus berjalan, dengan atau tanpa kesadaran kita. Seluruh aktivitas kita dalam dunia ini, dari kita lahir sampai kita kembali pada Sang Hidup -jika kita sadari- tenggelam dalam satu pusaran kuat: uang. Pusaran tersebut melatih dan membentuk kita selama tahun-tahun hidup kita dan menjadikan kita ahli menaksir dan memberi nilai pada suatu barang, mengkonsumsinya, mengeksplorasinya untuk mendapatkan nilai maksimal dari barang tersebut, bahkan ‘mengeksploitasinya’ untuk mendapat apa yang menjadi kesukaan kita semua: laba.


Hal yang serupa tapi tak sama, sadar atau tidak, dan tanpa bisa kita elakkan lagi, kita gunakan pada orang-orang, siapa saja yang ada di sekeliling kita. Sepanjang waktu dalam hidup kita, sadar atau tidak, kita membuat penilaian-penilaian tertentu atas orang-orang tertentu dan mengekspresikan penilaian tersebut lewat penghargaan yang kita tunjukkan dengan cara kita memperlakukan orang-orang tersebut. Cara kita menghargai orang lain menempatkan diri kita pada tempat-tempat tertentu, dimana kita memandang kehidupan dengan cara yang berbeda dari masing-masing tempat dimana kita berada.


Ada sangat banyak orang yang menilai segala sesuatu hanya berdasarkan pada apa yang terlihat/nampak secara fisik dan kemudian membawa pendekatan itu dalam menghargai orang lain. Mereka ada pada tempat yang memberi mereka pandangan bak televisi hitam putih dalam memandang kehidupan dan orang-orang yang ada di dalamnya. Orang yang mempunyai tampilan fisik yang prima, lengkap dengan segala asesoris wah yang melekat padanya mendapat penghargaan yang spesial, orang yang pandai berbicara dan terlihat mempunyai pendidikan tinggi mendapatkan kekaguman yang melambung, orang yang rajin melakukan aktivitas agama dipandang sebagai orang baik bak malaikat, sebaliknya orang yang berpenampilan sederhana, atau bahkan yang terlihat urakan dan ‘kurang sopan santun’ hanya dipandang sebelah mata. Itulah yang lazim terjadi dalam dunia kita, kelaziman yang menahun dan terus berlanjut walaupun kepalsuan telah membuka kedoknya di depan mata kita dan menunjukkan bahwa beberapa dari orang-orang yang nampak serba wah itu ternyata hanyalah penipu belaka, bahkan penindas dan pelahap sesamanya. Itulah ‘televisi hitam’ putih yang memenjarakan banyak jiwa.


Kita adalah ahli dalam membuat penghargaan bagi orang-orang yang memang layak mendapatkannya. Mulai dari lingkup yang kecil, misalnya di kelas, sampai lingkup yang lebih besar, di sekolah, di kota, hingga di tingkat nasional dan sampai di tingkat dunia, ada banyak sekali bentuk penghargaan yang diberikan untuk orang-orang yang memang layak mendapatkannya. Saya sendiri pernah terlibat dalam memberikan penilaian saya untuk menentukan siapa saja murid dalam kelas saya yang layak mendapatkan penghargaan dari sekolah sebagai murid-murid yang berprestasi secara akademik, yang berkelakukan baik, dsb. Penghargaan bergengsi dalam dunia film, piala Oscar, baru saja diberikan untuk film ‘Hurt Locker’ yang dinobatkan sebagai film terbaik. Para ‘gila bola’ tentu tahu bahwa Lionel Messi telah dinobatkan sebagai pemain sepak bola terbaik dunia 2009, dalam skala yang lebih kecil, Didier Drogba dinobatkan sebagai pemain sepak bola terbaik Afrika 2009. Daftar berbagai penghargaan tersebut masih panjang dan saya memilih untuk tidak menuliskannya karena bukan itu esensinya. Dalam segala kemeriahan pemberian penghargaan tersebut, kita bisa melihat satu bentuk penghargaan lain yang kita berikan pada orang lain, bukan penghargaan atas apa yang terlihat/nampak secara fisik saja, tapi penghargaan karena kualitas yang dipunyai orang tersebut. Kualitas tidak bisa ditipu dan memang pantas untuk dihargai. Setiap orang memerlukan dan mencari kualitas dalam hidupnya. Kesediaan kita untuk berpindah dari tempat dimana kita menghargai orang lain hanya dari apa yang nampak secara fisik ke tempat dimana kita menghargai orang lain karena kualitas yang ada pada dirinya, akan memberikan pada kita pandangan bahwa baik buruknya kehidupan ditentukan oleh kualitas orang-orang dalam kehidupan tersebut dalam setiap sisi kehidupan mereka. Di tempat ini, peningkatan adalah bahan bakar, sedangkan penghargaan adalah bonus jika kita mencapai garis akhir dengan kualitas berkelas. Tempat yang sama menyodorkan cermin untuk kita merenung:


“Kualitas apa yang aku hargai dari diriku? Masih penuh atau sudah kosong tak bersisakah bahan bakarku?”
“Apa yang aku hargai dari suami/istri, kekasih, sahabat, teman, dan siapa saja yang ada dalam hidupku? Masih mampukah aku melihat kualitas mereka sekalipun dalam buram dan kemudian bersyukur atas kualitas yang juga turut aku nikmati kemilaunya itu?”


Menghargai orang hanya dari apa yang terlihat secara fisik nampaknya bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, bahkan penghargaan jenis yang satu ini nampak seperti mesin otomatis yang bekerja dengan baik dalam diri orang-orang, banyak sekali orang. Ini adalah satu cara penghargaan yang sudah memakan banyak korban tapi masih tetap mempunyai banyak peminat. Fakta memanglah menyakitkan.


Menghargai orang dari kualitas yang ada pada diri orang tersebut, bagi sebagian orang bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, perlu hati yang lapang dan usaha keras untuk mengakui, mengagumi dan belajar dari orang yang mempunyai kualitas yang lebih baik bagi kita. Pada waktu-waktu tertentu, kita perlu usaha ekstra untuk tetap melihat kualitas orang-orang yang dekat, orang-orang yang kita cintai, sekalipun dalam keadaan yang buram dan jarak pandang yang terbatas. Di sisi yang berbeda, sebagian orang yang lain mau dan mampu untuk memilih jenis penghargaan seperti ini. Fakta kadang juga memberi oase.


Kita hidup dalam dunia fana dimana apa yang ada hari ini bisa saja mendadak lenyap esok hari atau kapan saja tanpa kita mau, tanpa kita tahu. Apa yang ada pada kita hari ini –segala yang ‘wah’ yang kita punyai- mungkin akan hilang esok hari atau entah kapan. Kualitas yang kita punyai, yang sekarang berdiri kokoh, bisa roboh karena kita terkecoh dan terlalu bodoh untuk menyerahkan diri kita pada candu dunia. Ketika kualitas memudar, apalagi kilau segala yang ‘wah’ pada diri orang lain tak lagi mengkilat, apakah kita akan tetap menghargai? Terlalu mudah untuk berkata tidak, dan memanglah susah untuk memberikan kesanggupan kita. Dalam dunia yang fana ini, kita perlu sesuatu yang lebih dalam penghargaan kita pada orang lain, kita memerlukan cara penghargaan yang akan tetap bertahan terhadap perubahan apapun, yang akan memampukan kita menyimpan apa yang esensi: Menghargai. Penghargaan yang didasarkan pada apa yang ada dalam diri orang lain -baik segala yang ‘wah’ maupun kualitas yang dipunyai orang tersebut- bersifat sementara dan rentan berubah apabila keadaan dan orang tersebut berubah. Di sisi yang lain, penghargaan yang didasarkan pada kualitas yang ada dalam diri kita, yaitu kualitas untuk menghargai orang lain itu sendiri adalah penghargaan yang tahan terhadap perubahan.


Kualitas ini menilai setiap orang -tidak peduli bagaimana keadaan mereka- sebagai orang yang penting dan berharga. Orang yang penting akan kita perlakukan dengan penuh rasa hormat, orang yang berharga akan kita perlakukan dengan baik supaya dia bisa menjadi lebih baik lagi, supaya kualitas dalam dirinya ditemukan dan ditingkatkan, dan untuk orang yang penting dan berharga, kita akan memastikan bahan bakar mereka tetap terisi penuh supaya mereka bisa mencapai garis akhir dengan kualitas yang berkelas. Penghargaan dengan kualitas seperti ini hanya datang dari Sang Hidup.

Monday, February 22, 2010

Sisi

Mari berbicara tentang sisi. Sisi yang saya maksud disini bukan “sisi” yang biasa saya dan banyak orang lain gunakan untuk menggambarkan aktivitas membuang ingus. Untuk membuang ingus, tentu saja kita harus tahu sisi mana dari hidung kita yang tersumbat ingus dan perlu pelepasan lewat aktivitas “sisi”. Aktivitas itu sungguh melegakan, memberi efek “plong” untuk hidung kita yang tersumbat. Seandainya kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali sisi hidung kita yang perlu “disisikan”, wah… yang tersumbat tetap akan tersumbat, dan aktivitas “sisi” menjadi aktivitas yang sia-sia hanya karena kita tidak bisa mengenali salah satu sisi tubuh kita dengan baik.

Pemahaman tentang sisi menuntut kualifikasi yang nampaknya sederhana, namun tidak sesederhana yang kita pikirkan, walaupun juga tidak serumit sangkaan kita. Kualifikasi tersebut adalah kemampuan untuk mengenali sisi dengan baik dan memaksimalkan pengenalan tersebut bagi kehidupan, diri kita, dan orang-orang di sekitar kita. Mengenali sisi-sisi kehidupan, pada waktu-waktu tertentu terasa lebih sederhana daripada mempelajari sisi-sisi bangun ruang dalam pelajaran Matematika, namun pada waktu yang lain, yang sebaliknya terjadi. Ketika kita tidak mampu mengenali dengan baik sisi lain kehidupan dimana kita berada, ketidaknormalan mengetuk dan langsung masuk, tanpa basa basi dia menusuk dan membuat kita merasa semakin buruk dan terpuruk. Mengenali sisi-sisi kehidupan kita dengan baik adalah penting, dalam skala mikro dan konteks dunia fisik, itu sama pentingnya dengan mengenali sisi mana dari hidung kita yang tersumbat supaya kita bisa mempunyai “sisi” yang tepat, supaya “plong”.

Ada satu hal sederhana mengenai sisi kehidupan yang saya percaya sudah kita ketahui, namun seringkali tidak kita sadari, yaitu bahwa kehidupan selalu mempunyai banyak sisi. Kesadaran bahwa kehidupan bersifat “multi sisi” menjadi hal vital dalam perjalanan hidup kita. Saat dimana kita berhenti hanya pada pengetahuan bahwa kehidupan mempunyai banyak sisi, itulah saat dimana kita akan menjadi frustasi ketika kehidupan seolah-olah tak berkawan lagi dengan kita. Kita perlu memperhatikan kehidupan dengan cermat dan kemudian berjalan lebih jauh, berlari lebih kencang, dan melompat lebih tinggi untuk menggapai kesadaran bahwa kehidupan bersifat multi sisi, selalu ada sisi lain yang bisa kita lihat, sisi yang memberi pencerahan, ide, semangat, inovasi, pandangan, dan solusi baru. Pengetahuan mengisi kita dengan bahan bakar, kesadaran mengaktifkan “tombol on” dalam diri kita untuk kita berbuat sesuatu, seperti kata seorang politikus beberapa waktu yang lalu, “Hidup adalah Perbuatan”.


Upaya untuk memperhatikan kehidupan serta usaha keras untuk berjalan, berlari, dan melompat demi menggapai kesadaran yang membawa kita pada perbuatan adalah apa yang saya pelajari untuk saya lakukan dalam waktu-waktu dalam kehidupan saya, khususnya beberapa bulan terakhir ini, ketika saya memilih untuk menjadi pengangguran, pelajaran besar lainnya adalah dalam beberapa tahun terakhir dalam hidup saya, ketika saya memilih untuk melepas orang yang masih saya sayangi. Pada saat-saat itulah, saya menemukan dan melihat sisi lain dalam kehidupan saya, sisi yang mempunyai keindahan yang berbeda yang mengajarkan pada saya ramahnya warna warni kehidupan, serta betapa setia dan baiknya Sang Hidup.

Upaya memperhatikan kehidupan serta usaha untuk berjalan, berlari, dan melompat demi mencapai kesadaran dalam melihat sisi lain dalam kehidupan kita tidaklah mudah sekalipun untuk hal-hal yang bagi kita “biasa saja” atau “memang sudah begitu” karena seringkali kita melihat hal-hal tersebut hanya dalam satu sisi dan memilih mengabaikan sisi lain, apalagi untuk hal-hal “luar biasa” atau “seharusnya tidak begitu”. Upaya dan usaha tersebut memanglah tidak pernah mudah. Bagaimana saya bisa melihat sisi lain dari fakta bahwa dalam beberapa bulan terakhir ini saya pengangguran? Bagaimana saya mampu melihat sisi cerah dari kelamnya fakta bahwa saya rasa saya sudah mengambil keputusan yang salah dengan melepas orang yang masih saya sayangi? Bagaimana pula dengan seorang teman yang harus merelakan hilangnya kebahagiaan bersama istrinya hanya dalam waktu yang singkat? Bagaimana juga dengan orang-orang yang tiba-tiba kehilangan orang yang dikasihi karena kecelakaan atau bencana? Ada banyak “Bagaimana” lain yang tidak akan habis saya tuliskan, semuanya hanya menunjukkan pada kita bahwa menyadari sisi lain dari kehidupan tidaklah mudah, namun demikian ada banyak sekali kisah dari mereka yang mampu melihat sisi lain dari kehidupan dan bangkit untuk lebih mencintai kehidupan dan Sang Hidup. Saya bersyukur saya adalah salah satu dari mereka.

Tidak ada tips khusus untuk meraih kesadaran bahwa kehidupan bersifat “multi sisi”. Kehidupan akan selalu “multi sisi”, itulah karunia Sang Hidup buat kita. Jika bisa disebut tips, mengenal Sang Hidup adalah satu hal yang bisa kita lakukan untuk menyadari berbagai sisi kehidupan yang Sang Hidup anugerahkan, untuk melihat the right side of the left, the white side of the black, dan the bright side of the dark.

Monday, February 15, 2010

Fragile! Handle with Care

“Fragile!” merupakan tulisan bernada peringatan yang dapat kita temukan tercetak dengan jelas pada berbagai macam wadah yang di dalamnya terdapat barang-barang yang rentan dari segala macam goncangan dan benturan, atau dengan kata lain barang-barang yang mudah pecah. Peringatan tersebut membawa satu konsekuensi logis yang diungkapkan dalam nada perintah, yaitu “Handle with Care”, satu perintah yang menuntut siapa saja yang membawa wadah berisi barang yang rentan pecah tersebut untuk membawanya dengan hati-hati, bahkan dengan usaha ekstra hati-hati jika memang diperlukan. Hanya orang-orang tertentu saja -yang tidak paham Bahasa Inggris dan kemudian tidak ada yang memberitahu, atau orang yang teledor sehingga tidak memperhatikan peringatan dan perintah tersebut, atau orang yang tidak tahu apa yang ada di dalam wadah itu, atau orang yang memang sengaja ingin memecahkan barang dalam wadah tersebut- yang akan mengabaikan perintah “Handle with Care” tersebut. Keadaan menjadi tidak mudah apabila pada wadah tempat barang yang rentan pecah itu tidak tercetak mantra sakti “Fragile! Handle with Care”, apalagi kalau kita tidak tahu ada barang rentan pecah dalam wadah tersebut.


Sejauh pengetahuan saya sampai saat ini, tulisan “Fragile! Handle with Care” tidak dicetak dalam keindahan seni level tinggi, yang penting tulisan tersebut bisa terbaca dan dipahami dengan jelas. Itu sudah cukup. Hal itu berbeda dengan tato misalnya, yang tercetak dalam keindahan seni level tinggi. Sekadar jelas saja tidaklah cukup. Pertanyaan tiba-tiba menyeruak dalam benak: “Ada nggak ya orang yang punya tato berupa tulisan “Fragile! Handle with Care” yang ditorehkan di salah satu bagian tubuh yang bisa dengan mudah dilihat oleh sang pemilik tato maupun orang lain, yang eye-catching, dan didesain dengan keindahan seni level tinggi?” Hmmm…. Kalau ada, saya ingin sekali bertemu sang pemilik tato, melihat tatonya, dan lebih dari itu, saya ingin tahu alasan dibalik pemilihan tato tersebut. Kalau ada…


Bagi saya, kita ini seperti wadah yang memuat barang rentan pecah tanpa tulisan “Fragile! Handle with Care” pada diri kita. Saya yang beberapa waktu lalu tiba-tiba dihajar thypus, saudara yang harus menjalani operasi besar karena tubuhnya penuh racun akibat bocornya saluran empedu, saudara lain yang terkena bakteri misterius mematikan –yang awalnya disangka bisul biasa- yang bila terlambat dioperasi bisa fatal akibatnya, teman dari sahabat saya yang kalah telak oleh kanker darah ganas sementara dia belum puas berbagi kebahagiaan bersama dengan suami dan bayi mungilnya merupakan sebagian kecil dari cerita kehidupan yang saya alami, ada di depan mata saya, dan yang hanya saya rasakan getarnya dari cerita orang lain, sekelumit cerita kehidupan yang menyodorkan bukti tak terbantah bahwa peringatan “Fragile!” layak kita sematkan –entah bagaimana cara dan bentuknya- pada diri kita.


Di sisi lain kita berjumpa dengan barisan sakit hati, teman-teman yang tidak berdaya mengawal kemarahan, berjuang menerima dan berdamai dengan diri, dan sahabat-sahabat yang terjerembab jatuh oleh nafsu setan yang menjegal liar. Itu semua merupakan sedikit cerita kehidupan yang sekali lagi menyodorkan bukti tak terbantahkan betapa rentannya kita.


Tanpa peringatan “Fragile!” serta absennya peringatan dari orang lain, hal-hal, serta kejadian-kejadian tertentu, seringkali kita lupa betapa rentannya diri kita, kadang-kadang atau seringkali kita merasa diri kita kuat, bahkan kita menjadi arogan ketika merasa ada di puncak kehidupan, ketika kita merasa baik-baik saja. Tanpa perintah “Handle with Care” sekalipun, di era kemajuan ini kita sudah mempunyai kesadaran tinggi untuk menjaga diri dan jiwa kita agar tetap terpelihara dengan baik, walaupun kesadaran itu sebenarnya rapuh, hancur melepuh bila terkena percikan hedonisme dan sikap terlalu mengasihi diri sendiri. Orang-orang yang sebisa mungkin menjaga dirinya dengan sangat baik sekalipun tetap terjerembab jatuh tanpa alasan yang bisa kita pahami.


Rentan, itulah kita. Usaha untuk menjaga diri dengan baik kadang pada sebagian orang adalah kesia-siaan. Kesia-siaan yang sama sewaktu-waktu bisa memeluk kita dan dalam sekejap mata menghancurkan segala usaha kita. Rentannya diri kita, seperti nampak dalam cerita kehidupan kita pada akhirnya membawa saya untuk belajar bersyukur atas apapun yang ada dan terjadi dalam hidup saya, bersyukur tadi pagi masih bisa terbangun karena ponsel yang berdering nyaring dan bisa mendengar dengan baik dan jelas suara teman yang pamit kembali ke Jakarta. Bersyukur saya masih hidup.
Rapuhnya segala usaha terbaik kita membuat saya sadar bahwa saya hanya bisa bergantung pada Sang Sumber Kuat saja untuk bisa bertahan. Untuk mengingatkan betapa rentannya diri saya dan betapa saya perlu menjaga diri saya dengan baik, “Fragile! Handle with Care” tentu saja tidak mungkin saya tuliskan pada tubuh saya, tidak juga dengan menorehkan tato yang mempunyai keindahan seni level tinggi.




(Surabaya, Februari 2010)

An Old Man and His Lighter

Hello, here I am again, saying hello to all of you through my story. Hope this is a good comeback after quite a long time, hope this is an 'inspiring hello' to all of you. I am trying to say hello to you in English., thing that I’ve never done before, so if you find mistakes in language, please teach me. But, in my humble opinion, don't teach me bout the essence of my story, because you are not my teacher, neither do I. I am not your teacher as well, not better than you, and I am not teaching you, I just share the lesson that I got. Here we learn together because we are all the students of the same school, ya, maybe we learn in different faculties, but I believe we learn a same major: LIFE, from the same GREAT TEACHER: our LIFE AUTHOR.


This is a simple story about an old man and his lighter.


It was a cold morning, rain was coming, saying hello to the earth, he missed her so much, so he came to pour out his desire, he didn't care about me, who was hoping for a sunny morning, because cold morning like that just made me want to go back home and sleep rather than went to class.


He also didn't care about an old man who was sitting there, in an ugly bus called 'Bas Mini', where people inside were silent, listening to love songs sung by the rain to the earth. I saw the old man from the place I stood. He was a normal old man, but didn't know why, somehow something made me put my eyes on him. Hmmm... seemed like he wanted to warm himself by smoking. He moved his right hand, put it into his pocket, looked for his cigarette. A moment has gone... He was still searching for his precious without realizing that he already lost it a few moment ago. His precious has fallen, out of the bus, joining the earth and the rain. Then, finally he grabbed a small pack that he was looking for, a place where his precious was there before, it wasn't closed properly, maybe that's why his precious was running away. He still didn't realize... His eyes were shining, as if saying:


"Oh, my precious... I'm coming..."


The shiny eyes suddenly gone, what was left was a confused man with wondering face and eyes that couldn't believe of what had happened. As if his eyes were saying:


"Hey, where's my precious? I'm sure I still have one... Where did u go, my precious??"


I was just smiling, something was in my heart. It made me smile, but I didn't know the reason I smiled. That time I found out that it was his last cigarette, the only one he had in that moment. Ah, he lost a precious moment... his really really precious one... But then, when he was looking to his left hand, he was smiling. He held his lighter there. And he knew for sure, I knew for sure, soon he would get his precious moment with his precious one when he reached the nearest shop and spent some Malaysian Ringgit to get his buddy back to him. As he was smiling, the bus reached my campus. I was going down with thoughts playing in my heart and questioning in my mind. Thoughts of an old man and his lighter.


The Author of my Life taught me a lesson of life that morning by putting me together with an old man and his lighter in an ugly bus called 'Bas Mini':


Don't depend on your cigarette, your precious, it may gone suddenly without you realizing it. Even when you guard it with all of your strength, with all that you can do, when it's meant to be gone, sooner or later it will be taken from you, in other way, when it's meant to be yours, it will remain with you. Love your precious, take a good care of it, that's all you can do, don't depend on it and act like it is yours, coz actually it's not yours... So, what is yours?


The Lighter.


The Lighter is the one who lights up your cigarettes, the one who lights you up even when you don't have your cigarettes with you. When you lose your cigarettes, you can always have them back in the shops nearby. Once you lose your Lighter... uh oh... Don't ever think of getting a new lighter in the shops nearby... This Lighter is not the cheap lighter that you can buy anywhere. You even never can buy this Lighter. The Lighter gave Himself for you. So, love your Lighter with all your heart, mind, strength, and soul. Hold on on your Lighter only. Always.


The Lighter is always much more important than your cigarettes. Your cigarettes are something, your Lighter is everything.


Do you have your Lighter with you??




(Kajang, Malaysia, December 2008)

01:24:07am

Waktu bak sobat lama yang menggandeng kita dengan mesra dan memeluk kita erat-erat, eksistensinya hadir dalam eksistensi kita, bak air laut yang tak terpisahkan dari rasa asin, bak cabe yang tak terpisah dari rasa pedas. Dia sekaligus bak makhluk dari planet terasing yang tak akan ambil pusing walaupun kita berteriak bising dan nyaring sampai tenggorokan jadi kering. Itulah saat dimana ke-erat-an dan ke-lekat-an yang ada seakan-akan terurai lepas, mencipta sekat antara kita dan dirinya. Bagi sebagian dari kita, pada saat-saat tertentu dia terasa berpacu dengan cepat, malah kadang seolah-olah dia melesat tanpa memberi kita asa, apalagi upaya untuk membuat sekat yang tercipta kembali menjadi rapat. Bukan dia yang berlari lepas kendali, kitalah yang enggan berjalan beriringan. Dia konsisten, dia setia. Kelajuannya tersisip rapi dalam konsistensi detik yang terus berdetak tanpa pretensi dan terbang bersama setiap hela nafas yang lepas selaras dengan jiwa yang tak kunjung puas. Dia akan terus melaju dan tak bisa berhenti untuk menunggu kita melepas jemu, apalagi menunggu kita makan tahu atau menjemur baju. Ya, sementara kita begini dan begitu, bekerja keras atau tertidur pulas, dia tetap terus melaju tanpa batas.


Bagi sebagian dari kita, pada saat yang lain track yang dia lalui seolah memuai, bertambah dimensi panjangnya dan menjadikan track yang harus dilaluinya untuk berayun dari satu titik ke titik berikutnya menjadi panjang dan lama, bahkan kadang menyiksa. Kita meronta, ingin lepas dan berlari, tapi dia memeluk kokoh, kita meminta, ingin bebas tanpa peduli, tapi dia masa bodoh. Bukan, bukan dia yang merangkak terseok-seok tanpa ekspektasi, seolah-olah mau mati, kitalah yang segan berdiri menemani...


Dia… konsisten, setia, apa adanya, tanpa berpura-pura. Kitalah yang suka bermain sandiwara berjuta babak berformat drama musikal dengannya, menuding-nudingkan jari kita padanya, membanjirinya dengan sumpah serapah seperti “Lama banget sih…”, “Gue nggak punya waktu nih…”, “Ya ampun, kok sudah jam segini sih?? Buset… Gue belum ngerjain tugas yang harus dikumpulin besok nih!!”, dan “Kan asyik kalo satu hari 30 jam…” Semuanya dalam rangka menambah satu lagi kambing hitam yang sebenarnya sudah terlalu banyak.


Waktu, sobat lama kita, selalu menggandeng mesra dan memeluk erat kita, hadir dalam segala keberadaan kita, kita yang kadang enggan berjalan beriringan dan segan berdiri menemani, kita yang seringkali mengkambing-kambingkan dan sekaligus menghitam-hitamkannya. Alangkah indahnya kalau kita bisa menggandeng mesra dan memeluk erat dengan tulus, hanya menggandeng dan memeluk erat saja dan merasakan kehangatan yang mengaliri jiwa kita. Menggandeng mesra dan memeluk erat sang waktu pun bisa memberi keindahan yang sama. Menggandeng mesra dan memeluk erat berarti sudi berjalan beriringan dan berdiri menemani.


Ketika dia seolah berpacu, melesat dengan cepat, kita pun bersetuju, melekat padanya tanpa sekat untuk turut berpacu, melesat, dan tersesat dalam irama cepat. Ketika track yang dia lalui seolah-olah memuai dan membuat kita tersungkur dalam ruang maya yang dimensi panjang dan lama-nya yang kadang menyiksa, kita sudi berdamai dan mengatur ruang maya itu, menghias dimensi panjang dan lamanya menjadi berwarna dan bermakna.




(Kajang, Malaysia, Mei 2008)

Still Hard to Say I’m Sorry ?? (part 2)

Putri yang sedang mati suri menyerah pasrah dalam dekapan King Koil, wajahnya terbenam dalam bantal yang banjir karena sungai yang mengalir deras dari jendela hatinya. AC di kamarnyapun dengan kompak ikut beradaptasi, dingin, menusuk tubuh ningratnya, walaupun tidak sedingin hatinya yang membeku, kaku, dan memasang papan peringatan besar bertuliskan huruf yang besar-besar juga, “JANGAN GANGGU AKU”, khusus ditujukan untuk Yang Terhormat Raden Sastrowijoyo. Lima tahun belakangan ini hidupnya bagaikan roller coaster yang diputar terlalu cepat oleh sang operator psikopat. Sebentar Putri di atas, menikmati keindahan bersama Josh, tapi dalam sekejap dia dibanting jatuh jumpalikan ke bawah oleh kegarangan Raden Sastro. Lelah. Dia ingin berteriak keras-keras pada sang operator untuk menghentikan permainan itu, tapi Josh dengan segala keoptimisannya yang naif selalu mampu meyakinkan Putri untuk tetap bertahan duduk di roller coaster itu, menunggu dengan harap saat dia ada di atas, menikmati keindahan bersama Josh. Itulah penawar racunnya, yang menyembuhkan dia ketika dia sakit karena jatuh terjerembab, bahkan ketika dia mati suri seperti sekarang ini. Putri tersenyum, dia sedang berkendara menyusuri kenangan-kenangan indahnya bersama Josh.


Tiba-tiba sesuatu mendorong dia untuk mengingat percakapannya dengan Josh di suatu sore. Percakapan yang sampai sekarang sulit dia pahami. Josh mengatakan istilah-istilah yang baginya aneh dan tidak dia mengerti, namun entah kenapa itu tetap tersimpan di hatinya, dan sekarang justru dihidangkan kembali buat dia di saat seperti ini. Appetizer “Kasihilah musuhmu” yang disusul dengan hidangan utama “Kita punya kemampuan mengampuni yang tak terbatas karena pengampunan tak terbatas yang diberikan SANG PENCIPTA buat kita” ditutup dengan dessert “Pengampunan adalah pilihan” membuat jiwa Putri merasa kenyang. Dia ingat benar, waktu itu dia berkata pada Josh, “Ah, Josh, rasanya Chicago lebih bener deh, lebih masuk akal…” Josh tersenyum, “Apa? Hard to Say I’m Sorry?” Putri mengangguk, “Iya, Hard to Say I’m Sorry.” Josh tetap tersenyum. Dia mulai memberikan rahasia dapur dari hidangan-hidangan itu pada Putri. Putri mendengarkan dan berusaha keras untuk mengerti. Tapi dia gagal. Sekarang hidangan-hidangan itu menyeruak di tengah perjalanannya mengenang keindahan bersama Josh.


Entah bagaimana, hidangan itu kini seolah-olah dihidangkan dalam kemasan yang lebih menggugah selera dan mudah dia cerna. “Appetizer yang aneh…” gumam Putri. Bukan hal yang mudah bagi Putri untuk mencernanya. Tapi sesuatu seolah-olah memaksanya untuk menelan saja appetizer itu. Sekarang hidangan utamanya. “Hmmmpphhh…. Apa-apaan sih ini?” Putri hampir saja memuntahkannya, tapi sekali lagi ada yang seolah-olah membantu dia untuk menelannya. Membantu? Ya, kali ini dia malah mulai berinisiatif menelan hidangan itu walaupun tadi dia hendak memuntahkannya. Putri mulai merasa kenyang, tapi dia tahu pasti masih ada satu tempat buat dessert.
Dia melongok ke nampan yang dihidangkan padanya. Dessert itu akan merubah hidup Putri jika dia memakannya. Tapi untuk mengambil dan memakannya adalah sebuah pilihan yang benar-benar sulit bagi Putri. Putri mencoba untuk mencari sesuatu yang tadi membantunya untuk melahap appetizer dan hidangan utama yang sama sekali tidak mudah itu. Dimana…?? Ah! Dia tidak dapat menemukannya. “Well, aku sendiri ya yang harus memilih? Aku sendiri ya yang harus mbuat keputusan?” Putri bertanya, entah pada siapa, dia sendiri juga tidak mengerti. “Drrrrrrtttt…” ponselnya bergetar memanggil. Dia melirik dengan segan. Di layar nampak nama Josh. Dia tersenyum sambil bergumam, “Besok aja ya Josh, it’s between me and the dessert…” Untuk pertama kalinya Putri mengabaikan Josh. Malam ini urusan dessert lebih penting dari Josh. Konsentrasinya kembali terpusat pada dessert. Kini dia sudah memutuskan……


Putri terbiasa mengunci kamarnya pada waktu malam, dia tidak ingin seseorangpun mengganggunya ketika dia tidur. Namun, malam itu semua di luar kebiasaan, Putri tidak mengunci kamarnya, mungkin karena dia terlalu lelah, luluh lantak dihajar gertak sang bapak yang galak. Setengah lima pagi. Matahari masih tidur nyenyak, tapi tidak dengan Putri. Dia terhenyak dari tidurnya yang nyenyak karena ada yang membuka pintu kamarnya. Raden Sastro melangkah masuk. “Nduk, bapak mau ngambil tiket pesawat, kemarin bapak lupa ngambil. Dimana ya?” Tiket itu ada di meja, di dekat ranjang Putri. Raden Sastro mengambilnya. Dia melirik Putri sekilas pandang dan menghembuskan nafas panjang. Hatinya sungguh lelah dan jengah karena timbunan sampah sumpah serapah semalam, namun dia pun terlalu pongah, tak mau kalah, walaupun ingin sekali dia mempunyai hati yang kembali ramah. “Nduk, bapak pergi dulu ya.” Raden Sastro pergi melangkah.


Tepat ketika tangannya meraih kenop pintu, udara di kamar itu membeku dan tubuhnya pun seolah kaku oleh panggilan sayu dari Putri, putrinya yang ayu. “Pak…” Seketika itu juga, kebekuan tak lagi mengikat namun meleleh dan mengalirkan kehangatan dalam sekat hati Raden Sastro. Dia membalikkan badannya dengan cepat. Tiba-tiba saja Putri sudah ada di hadapannya, dan seketika itu juga memeluknya sambil mengurai derai sungai dari ngarai hatinya. Tak banyak kata terucap. “Maafkan Putri ya Pak…” Derai sungai dari ngarai hati Putri berbicara lebih dari itu semua. Kini dia melihat dirinya sebagai Sastrowijoyo. “Keradenan” dan “keningratannya” dia tanggalkan. Pagi itu dia ikut bersama menikmati dessert yang dipilih Putri semalam. Pak Supri, sopir pribadinya dan pesawat yang akan membawanya dalam perjalanan bisnis bisa menunggu. “Maafkan bapak ya nduk…” Tidak banyak kata terucap. Derai sungai dari ngarai hatinya berbicara lebih dari semua yang bisa dia ucapkan. Melepas segala keras hati, mengobati nyeri sanubari, menghapus hati yang lelah dan jengah, serta meruntuhkan sekat laknat di antara mereka. Ya, mereka. Putri dan bapaknya, Raden Sastrowijoyo.


“Halo, Josh…” Putri menyapa, ceria. “Iya, Putri…” jawab Josh di ujung sana. “Ternyata Chicago gak bener-bener banget ya… Ya, hard sih to say I’m sorry, tapi ternyata nggak gitu banget kok... (hanya diam di ujung sana) Josh…??” “Hahaha…. Iya Putri, aku baru bangun tidur nih.” Josh melirik teman tidurnya semalam. Mereka berdua berpelukan. Tanpa busana, tanpa rasa takut, dan tanpa merasa bersalah.




(“Hard to Say I’m Sorry??” is inspired by a true story)

Hard to Say I’m Sorry ?? (part 1)

Ada kebekuan yang menyeruak, mendesak untuk beranak-pinak dalam benak mereka berdua. Atmosfer di sekitar merekapun bisa membacanya dengan sangat jelas dan ikut terkena imbas. Ya, mereka. Perkenalkan: Putri, 30 tahun, wanita yang karirnya lagi di puncak Everest. Manis, hangat, dan cerdas. Dambaan banyak pria. Raden Sastrowijoyo, 69 tahun, bapaknya Putri, ningrat yang nggak akan segan-segan mempertahankan segala “kehormatan keningratannya” meskipun itu berarti harus bersitegang dan berlaku garang pada Putri, anaknya semata wayang, yang walaupun waktu kecil hobi bermain layang-layang, tapi kulitnya nggak jadi belang…

Kebekuan dalam benak mereka memuncak sudah, and suddenly, Raden Sastro tersedak oleh kebekuan dalam benak. Dia berucap singkat, padat, cepat, dan yang terpenting… galak. “Akhiri hubunganmu dengan dia!!” Putri terhenyak, hatinya luluh lantak. Dia memang sudah berkali-kali (entah berapa kali, dia sudah terlalu lelah menghitungnya) mendengar kata-kata bapaknya yang dengan kejam merajam hatinya yang terdalam, tempat dimana dia memeluk erat Joshaphat dengan cinta yang hangat. Tapi kali ini ada kesungguhan yang berbeda dalam kata-kata bapaknya, Putri tahu itu. Kesungguhan yang kali ini mampu menyentak hatinya, membuat komitmennya untuk bertahan memeluk erat Joshaphat dengan cinta hangat menjadi retak dan gubraaak…!! Luluh lantak… Tidak!!

Putri sibuk mencari, dimana…?? Nah! Ini dia. Kekuatan yang tak bisa dijangkau dan dipahami otak. Dengan kekuatan itu Putri kembali memunguti kepingan hatinya yang terpukul telak oleh hardik sang bapak yang galak. Putri juga nggak tahu, sampai kapan dia akan bertahan memeluk erat Joshaphat dengan cinta hangat di tengah segala hujat yang mendarat tepat di sekat hatinya yang kian pekat karena granat-granat laknat yang diledakkan bapaknya. Ini tahun ke-lima, dan lukanya semakin menganga, apalagi setelah malam ini. Putri tidak akan pernah bisa mengerti mengapa mencintai Joshaphat adalah kesalahan bagi bapaknya. Josh, begitu Putri biasa memanggilnya, mempunyai daya tarik sempurna bagi dirinya, sesempurna gravitasi yang menarik tiap benda untuk selalu kembali ke pelukan bumi. Putri bendanya, dan Josh adalah gravitasi yang sempurna bagi dirinya. Josh, humoris, cerdas, mandiri, dan romantis.

Itu belum semua. Putri dapat bonus. Gravitasi lain yang juga menariknya jatuh. Joshaphat mempunyai tangisan pertama yang berbunyi “Halleluya!”, kulit putih dan mata sipit, serta nama orisinil Tan Hok Joa. Satu lagi, Josh dengan sempurna menghadirkan kembali keceriaan masa muda yang hilang dari Putri dengan membawa sedikit keporakporandaan yang diperlukan seorang wanita karir yang hidupnya selalu tertata dan teratur rapi seperti Putri. Putri sendiripun tak paham bagaimana bisa seorang pemuda 22 tahun melakukan itu padanya.

Tapi ternyata gravitasi yang satu ini tidak berlaku universal. Raden Sastro, seperti halnya Putri, tidak akan pernah bisa mengerti mengapa mencintai Joshaphat adalah kebenaran bagi anaknya. Raden Sastro menjadi berang, meradang, dan garang jika mengingat fakta-fakta yang ada. Putri mempunyai tangisan pertama yang berbunyi “Alhamdullilah”, produk orisinil Jawa Tengah, ningrat lagi! Raden Sastro juga sama sekali tidak paham, bagaimana bisa Putri yang 30 tahun itu terpikat dengan pemuda baru gede seperti Josh.

Raden Sastro 110 Volt, Putri 220 Volt. Korsleting terjadi ketika mereka disambungkan. Raden Sastro nasi pecel, Putri sop merah. Amburadul rasanya ketika dimakan bersama. Black forest yang dimakan dengan petis, joget dangdut dengan iringan karya Mozart, dan banyak hal “nggak nyambung” lainnya yang menghiasi interaksi mereka lima tahun terakhir ini. Sanubari yang nyeri dan sepi, serta pahit dan sakit yang selalu terbersit membuat mereka jengah dan lelah, tapi nampaknya mereka terlalu pongah dan tak mau kalah. Raden Sastro dengan segala “kehormatan keningratannya” yang untouchable versus Putri dengan segenap “cinta gilanya” buat Josh yang unbreakable. Pusaran waktu lima tahun yang penuh dengan nyeri sanubari serta pahit dan sakit yang selalu terbersit itu, malam ini bahkan hadir dalam pusaran yang semakin dalam dan semakin melambat, mengikat erat Raden Sastro dan Putri dalam kebekuan yang menyeruak, mendesak untuk beranak-pinak dalam benak mereka berdua. Atmosfer di sekitar merekapun bisa membacanya dengan sangat jelas dan ikut terkena imbas. Kebekuan itu kini menetas, terlontar keras dengan hati panas…

(Galak dan menyentak): “Akhiri hubunganmu dengan dia!!” (menyebut nama Josh pun Raden Sastro enggan)

(Teguh, kukuh, dan bersungguh-sungguh): “Mengapa emangnya Pak?? Aku sama sekali nggak nglihat alasan untuk nglakukan itu!”

(Nada meninggi, menusuk nyeri sanubari): “Sudah ya nduk, bapak sudah capek berdebat sama kamu!! Kamu ini anaknya bapak, dengarkan bapakmu, ndak usah mbantah dan banyak alasan!!”

(Nada naik, dibarengi jiwa yang terusik dan air mata yang siap menitik): “Pak, Putri sudah dewasa, bukan anak kecil lagi, ini hidup Putri, Putri…”

(Garang, lantang, dan nendang…): “Sudah!! Diam!! Dengar ya nduk. Kamu pilih. Kalau kamu merasa kamu sudah dewasa dan kamu lebih memilih laki-laki itu daripada bapak-ibumu, jangan panggil aku bapak lagi!! Kalau kamu masih merasa kamu ini anaknya bapak, akhiri hubunganmu dengan laki-laki itu, sekarang!!” (Brak!! Kepalan Raden Sastro mehghujam meja yang ada di antara mereka, dia berdiri dan meninggalkan Putri yang mati suri karena nyeri sanubari, sendiri, berteman sepi…)


BERSAMBUNG…