J o h N o t e

j o h N o t e:

It’s New!


Ternyata menulis tidaklah mudah. Salah satu tantangan terberatnya adalah konsistensi, yang notabene juga menjadi penantang kelas berat bagi seabrek aktivitas lain. Ada banyak ide yang sebenarnya mengalir dalam apa yang saya sebut sebagai ‘sungai kognitif’, ide-ide yang siap tersaji dalam aksara kaya makna, yang diharapkan bisa memberi pencerahan dan bisa melahirkan apa yang saya sebut sebagai ‘momen aha!’ bagi kita semua. Namun kemudian jalan keluar aliran tersebut tersumbat, tersekat, dan terhambat. Sumbat tersebut –seperti yang sudah saya perkenalkan di awal- ialah konsistensi. Sekat yang lain adalah kreativitas menulis, yang dalam waktu lebih dari enam bulan terakhir ini menjadi barang langka buat saya.


Menulis, di sisi lain, bagi saya adalah passion, yang walaupun dalam kurun waktu yang berlalu dia sudah mati suri karena kehabisan asupan gizi konsistensi dan kreativitas, namun ternyata tetap ada dalam diri dan kembali memanggil saya untuk melanjutkan usaha berbagi inspirasi dan melukis warna warni di jiwa kita.


Dalam tahapan hidup saya sekarang, menulis juga berarti proses bertumbuh. Itulah penjelasan atas berubahnya style tulisan saya. Ada beberapa tulisan dari J o h N o t e yang dengan pertimbangan tertentu tetap saya sertakan di sini. Ini tulisan yang sama mengenai kehidupan, yang tetap dihadirkan dengan penuh rasa cinta pada kita semua, pada kehidupan dan Hidup itu sendiri. Inilah j o h N o t e.

Monday, February 15, 2010

Hard to Say I’m Sorry ?? (part 1)

Ada kebekuan yang menyeruak, mendesak untuk beranak-pinak dalam benak mereka berdua. Atmosfer di sekitar merekapun bisa membacanya dengan sangat jelas dan ikut terkena imbas. Ya, mereka. Perkenalkan: Putri, 30 tahun, wanita yang karirnya lagi di puncak Everest. Manis, hangat, dan cerdas. Dambaan banyak pria. Raden Sastrowijoyo, 69 tahun, bapaknya Putri, ningrat yang nggak akan segan-segan mempertahankan segala “kehormatan keningratannya” meskipun itu berarti harus bersitegang dan berlaku garang pada Putri, anaknya semata wayang, yang walaupun waktu kecil hobi bermain layang-layang, tapi kulitnya nggak jadi belang…

Kebekuan dalam benak mereka memuncak sudah, and suddenly, Raden Sastro tersedak oleh kebekuan dalam benak. Dia berucap singkat, padat, cepat, dan yang terpenting… galak. “Akhiri hubunganmu dengan dia!!” Putri terhenyak, hatinya luluh lantak. Dia memang sudah berkali-kali (entah berapa kali, dia sudah terlalu lelah menghitungnya) mendengar kata-kata bapaknya yang dengan kejam merajam hatinya yang terdalam, tempat dimana dia memeluk erat Joshaphat dengan cinta yang hangat. Tapi kali ini ada kesungguhan yang berbeda dalam kata-kata bapaknya, Putri tahu itu. Kesungguhan yang kali ini mampu menyentak hatinya, membuat komitmennya untuk bertahan memeluk erat Joshaphat dengan cinta hangat menjadi retak dan gubraaak…!! Luluh lantak… Tidak!!

Putri sibuk mencari, dimana…?? Nah! Ini dia. Kekuatan yang tak bisa dijangkau dan dipahami otak. Dengan kekuatan itu Putri kembali memunguti kepingan hatinya yang terpukul telak oleh hardik sang bapak yang galak. Putri juga nggak tahu, sampai kapan dia akan bertahan memeluk erat Joshaphat dengan cinta hangat di tengah segala hujat yang mendarat tepat di sekat hatinya yang kian pekat karena granat-granat laknat yang diledakkan bapaknya. Ini tahun ke-lima, dan lukanya semakin menganga, apalagi setelah malam ini. Putri tidak akan pernah bisa mengerti mengapa mencintai Joshaphat adalah kesalahan bagi bapaknya. Josh, begitu Putri biasa memanggilnya, mempunyai daya tarik sempurna bagi dirinya, sesempurna gravitasi yang menarik tiap benda untuk selalu kembali ke pelukan bumi. Putri bendanya, dan Josh adalah gravitasi yang sempurna bagi dirinya. Josh, humoris, cerdas, mandiri, dan romantis.

Itu belum semua. Putri dapat bonus. Gravitasi lain yang juga menariknya jatuh. Joshaphat mempunyai tangisan pertama yang berbunyi “Halleluya!”, kulit putih dan mata sipit, serta nama orisinil Tan Hok Joa. Satu lagi, Josh dengan sempurna menghadirkan kembali keceriaan masa muda yang hilang dari Putri dengan membawa sedikit keporakporandaan yang diperlukan seorang wanita karir yang hidupnya selalu tertata dan teratur rapi seperti Putri. Putri sendiripun tak paham bagaimana bisa seorang pemuda 22 tahun melakukan itu padanya.

Tapi ternyata gravitasi yang satu ini tidak berlaku universal. Raden Sastro, seperti halnya Putri, tidak akan pernah bisa mengerti mengapa mencintai Joshaphat adalah kebenaran bagi anaknya. Raden Sastro menjadi berang, meradang, dan garang jika mengingat fakta-fakta yang ada. Putri mempunyai tangisan pertama yang berbunyi “Alhamdullilah”, produk orisinil Jawa Tengah, ningrat lagi! Raden Sastro juga sama sekali tidak paham, bagaimana bisa Putri yang 30 tahun itu terpikat dengan pemuda baru gede seperti Josh.

Raden Sastro 110 Volt, Putri 220 Volt. Korsleting terjadi ketika mereka disambungkan. Raden Sastro nasi pecel, Putri sop merah. Amburadul rasanya ketika dimakan bersama. Black forest yang dimakan dengan petis, joget dangdut dengan iringan karya Mozart, dan banyak hal “nggak nyambung” lainnya yang menghiasi interaksi mereka lima tahun terakhir ini. Sanubari yang nyeri dan sepi, serta pahit dan sakit yang selalu terbersit membuat mereka jengah dan lelah, tapi nampaknya mereka terlalu pongah dan tak mau kalah. Raden Sastro dengan segala “kehormatan keningratannya” yang untouchable versus Putri dengan segenap “cinta gilanya” buat Josh yang unbreakable. Pusaran waktu lima tahun yang penuh dengan nyeri sanubari serta pahit dan sakit yang selalu terbersit itu, malam ini bahkan hadir dalam pusaran yang semakin dalam dan semakin melambat, mengikat erat Raden Sastro dan Putri dalam kebekuan yang menyeruak, mendesak untuk beranak-pinak dalam benak mereka berdua. Atmosfer di sekitar merekapun bisa membacanya dengan sangat jelas dan ikut terkena imbas. Kebekuan itu kini menetas, terlontar keras dengan hati panas…

(Galak dan menyentak): “Akhiri hubunganmu dengan dia!!” (menyebut nama Josh pun Raden Sastro enggan)

(Teguh, kukuh, dan bersungguh-sungguh): “Mengapa emangnya Pak?? Aku sama sekali nggak nglihat alasan untuk nglakukan itu!”

(Nada meninggi, menusuk nyeri sanubari): “Sudah ya nduk, bapak sudah capek berdebat sama kamu!! Kamu ini anaknya bapak, dengarkan bapakmu, ndak usah mbantah dan banyak alasan!!”

(Nada naik, dibarengi jiwa yang terusik dan air mata yang siap menitik): “Pak, Putri sudah dewasa, bukan anak kecil lagi, ini hidup Putri, Putri…”

(Garang, lantang, dan nendang…): “Sudah!! Diam!! Dengar ya nduk. Kamu pilih. Kalau kamu merasa kamu sudah dewasa dan kamu lebih memilih laki-laki itu daripada bapak-ibumu, jangan panggil aku bapak lagi!! Kalau kamu masih merasa kamu ini anaknya bapak, akhiri hubunganmu dengan laki-laki itu, sekarang!!” (Brak!! Kepalan Raden Sastro mehghujam meja yang ada di antara mereka, dia berdiri dan meninggalkan Putri yang mati suri karena nyeri sanubari, sendiri, berteman sepi…)


BERSAMBUNG…

No comments: