J o h N o t e

j o h N o t e:

It’s New!


Ternyata menulis tidaklah mudah. Salah satu tantangan terberatnya adalah konsistensi, yang notabene juga menjadi penantang kelas berat bagi seabrek aktivitas lain. Ada banyak ide yang sebenarnya mengalir dalam apa yang saya sebut sebagai ‘sungai kognitif’, ide-ide yang siap tersaji dalam aksara kaya makna, yang diharapkan bisa memberi pencerahan dan bisa melahirkan apa yang saya sebut sebagai ‘momen aha!’ bagi kita semua. Namun kemudian jalan keluar aliran tersebut tersumbat, tersekat, dan terhambat. Sumbat tersebut –seperti yang sudah saya perkenalkan di awal- ialah konsistensi. Sekat yang lain adalah kreativitas menulis, yang dalam waktu lebih dari enam bulan terakhir ini menjadi barang langka buat saya.


Menulis, di sisi lain, bagi saya adalah passion, yang walaupun dalam kurun waktu yang berlalu dia sudah mati suri karena kehabisan asupan gizi konsistensi dan kreativitas, namun ternyata tetap ada dalam diri dan kembali memanggil saya untuk melanjutkan usaha berbagi inspirasi dan melukis warna warni di jiwa kita.


Dalam tahapan hidup saya sekarang, menulis juga berarti proses bertumbuh. Itulah penjelasan atas berubahnya style tulisan saya. Ada beberapa tulisan dari J o h N o t e yang dengan pertimbangan tertentu tetap saya sertakan di sini. Ini tulisan yang sama mengenai kehidupan, yang tetap dihadirkan dengan penuh rasa cinta pada kita semua, pada kehidupan dan Hidup itu sendiri. Inilah j o h N o t e.

Monday, February 15, 2010

01:24:07am

Waktu bak sobat lama yang menggandeng kita dengan mesra dan memeluk kita erat-erat, eksistensinya hadir dalam eksistensi kita, bak air laut yang tak terpisahkan dari rasa asin, bak cabe yang tak terpisah dari rasa pedas. Dia sekaligus bak makhluk dari planet terasing yang tak akan ambil pusing walaupun kita berteriak bising dan nyaring sampai tenggorokan jadi kering. Itulah saat dimana ke-erat-an dan ke-lekat-an yang ada seakan-akan terurai lepas, mencipta sekat antara kita dan dirinya. Bagi sebagian dari kita, pada saat-saat tertentu dia terasa berpacu dengan cepat, malah kadang seolah-olah dia melesat tanpa memberi kita asa, apalagi upaya untuk membuat sekat yang tercipta kembali menjadi rapat. Bukan dia yang berlari lepas kendali, kitalah yang enggan berjalan beriringan. Dia konsisten, dia setia. Kelajuannya tersisip rapi dalam konsistensi detik yang terus berdetak tanpa pretensi dan terbang bersama setiap hela nafas yang lepas selaras dengan jiwa yang tak kunjung puas. Dia akan terus melaju dan tak bisa berhenti untuk menunggu kita melepas jemu, apalagi menunggu kita makan tahu atau menjemur baju. Ya, sementara kita begini dan begitu, bekerja keras atau tertidur pulas, dia tetap terus melaju tanpa batas.


Bagi sebagian dari kita, pada saat yang lain track yang dia lalui seolah memuai, bertambah dimensi panjangnya dan menjadikan track yang harus dilaluinya untuk berayun dari satu titik ke titik berikutnya menjadi panjang dan lama, bahkan kadang menyiksa. Kita meronta, ingin lepas dan berlari, tapi dia memeluk kokoh, kita meminta, ingin bebas tanpa peduli, tapi dia masa bodoh. Bukan, bukan dia yang merangkak terseok-seok tanpa ekspektasi, seolah-olah mau mati, kitalah yang segan berdiri menemani...


Dia… konsisten, setia, apa adanya, tanpa berpura-pura. Kitalah yang suka bermain sandiwara berjuta babak berformat drama musikal dengannya, menuding-nudingkan jari kita padanya, membanjirinya dengan sumpah serapah seperti “Lama banget sih…”, “Gue nggak punya waktu nih…”, “Ya ampun, kok sudah jam segini sih?? Buset… Gue belum ngerjain tugas yang harus dikumpulin besok nih!!”, dan “Kan asyik kalo satu hari 30 jam…” Semuanya dalam rangka menambah satu lagi kambing hitam yang sebenarnya sudah terlalu banyak.


Waktu, sobat lama kita, selalu menggandeng mesra dan memeluk erat kita, hadir dalam segala keberadaan kita, kita yang kadang enggan berjalan beriringan dan segan berdiri menemani, kita yang seringkali mengkambing-kambingkan dan sekaligus menghitam-hitamkannya. Alangkah indahnya kalau kita bisa menggandeng mesra dan memeluk erat dengan tulus, hanya menggandeng dan memeluk erat saja dan merasakan kehangatan yang mengaliri jiwa kita. Menggandeng mesra dan memeluk erat sang waktu pun bisa memberi keindahan yang sama. Menggandeng mesra dan memeluk erat berarti sudi berjalan beriringan dan berdiri menemani.


Ketika dia seolah berpacu, melesat dengan cepat, kita pun bersetuju, melekat padanya tanpa sekat untuk turut berpacu, melesat, dan tersesat dalam irama cepat. Ketika track yang dia lalui seolah-olah memuai dan membuat kita tersungkur dalam ruang maya yang dimensi panjang dan lama-nya yang kadang menyiksa, kita sudi berdamai dan mengatur ruang maya itu, menghias dimensi panjang dan lamanya menjadi berwarna dan bermakna.




(Kajang, Malaysia, Mei 2008)

No comments: